Selasa, 18 Oktober 2016

Daftar Isi Blog Bahan Ajar Online Filsafat Apologetika

Mata Kuliah Filsafat Apologetika Kristen dibagi dalam satu Standar Kompetensi  dan dikembangkan menjadi 7 Kompetensi Dasar. Pengembangan ini didasarkan pada kebutuhan pertemuan dalam 1 semester sebanyak 14 kali pertemuan, termasuk 2 kali Ujian, yaitu UTS /TTS dan UAN/TAS. Setiap Kompetensi dibahas dalam beberapa kali pertemuan. Berikut link yang memudahkan mahasiswa untuk mencari Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Indikator dapat dicari dalam materi kuliah. Artinya tidak dibuat link khusus. Semoga menolong pebelajar Filsafat Apologetika Kristen. 

Selamat mengakses:








Praktik Apologetika

BAB 7
Kompetensi Dasar 7
Mengidentivikasi sebab-sebab Apologetika dan Prakti dan Praktik Apologetika
1.      Identivikasi sebab-sebab Apologetika Dari Ajaran Berbahaya yang Menyerang Iman Kristen

Selain ajaran iman Kristen, mungkin tidak ada ajaran lain yang begitu gencar diserang sepanjang masa. Serangan-serangan tersebut seringkali begitu kejam dan penuh penghinaan terhadap Kristus dan otoritas Alkitab. Banyak orang Kristen telah terguncang hebat dan panik tatkala menghadapinya.
Untuk dapat bertahan kita harus memahami inti dari setiap ajaran yang menyerang kemurnian iman kita, karena akar dari ajaran seperti itu pada dasarnya adalah kesalahpahaman dan pemutarbalikan firman Tuhan. Jelas, tulisan singkat ini tidak mungkin menguraikan seluruh ajaran tersebut mengingat begitu banyak dan bervariasinya mereka itu. Untuk itu dibutuhkan sebuah bidang studi khusus. Tetapi kita perlu mengetahui beberapa ajaran yang sangat berbahaya, sekalipun secara garis besarnya saja.
Ajaran-ajaran tersebut antara lain relativisme, pluralisme, sinkretisme dan beberapa ajaran teologia yang berkembang di Asia pada dewasa ini. Sebenarnya akar dari seluruh ajaran tersebut adalah penolakan terhadap keunikan Kristus dan otoritas Alkitab.[1]

1.      Relativisme

Arti istilah "relative" ditemukan dalam hubungan dan perbandingan antara sesuatu dengan yang lain. Dengan demikian, segala klaim terhadap kemutlakan dan keunikan dihapuskan. Relativisme menyangkal adanya kebenaran mutlak, maka semua nilai mutlak pun ditolak dan kebenaran yang diterimanya adalah kebenaran dalam batas relatif. Bagi penganut relativisme: nilai kebenaran sangat tergantung kepada kebudayaan, lingkungan dan orang-orang di dalamnya. Sesuatu yang dianggap benar dalam suatu kebudayaan atau lingkungan tertentu belum tentu diterima benar dalam kebudayaan dan lingkungan yang lain. Iman Kristen menolak relativisme, karena hal itu bertentangan dengan firman Tuhan. Di bidang doktrin, Alkitab mengajarkan bahwa kebenaran mutlak hanyalah berasal dari Allah, sebab hanya Dialah yang benar atau sumber kebenaran, maka standar kebenaran pun hanya bisa ditentukan oleh Dia sendiri.[2]

2.      Pluralisme

Sama halnya dengan relativisme, pluralisme pun menolak keras kebenaran mutlak. Penganut falsafah atau pandangan ini sangat mengakui dan menerima adanya berbagai ragam kebenaran. Aspirasi mereka bahkan lebih jauh dari usaha penganut relativisme; mereka berupaya mempersatukan agama-agama agar kebenaran-kebenaran yang beragam tersebut dapat saling mengisi dan melengkapi. Dalam konteks Indonesia, ajaran semacam ini sangat relevan untuk diperhatikan dalam arti diwaspadai mengingat negara kita memang memiliki keberagaman budaya dan mengakui adanya beberapa aliran kepercayaan sebagai agama resmi. Bagi pemeluk pluralisme keberagaman atau kemajemukan agama tersebut bisa dipandang sebagai akar perpecahan, karena itu potensi perpecahan sebagai akibat perbedaan itu harus dihilangkan dengan cara menolak serta menghapuskan keunikan dan kemutlakan setiap ajaran atau pengakuan terhadap suatu realitas kebenaran. Pluralisme mengajarkan suatu sikap dengan asumsi pandangan bahwa agama adalah respons kebudayaan atau kesadaran akan adanya realitas ilahi. Setiap bangsa dan masyarakat memang mempunyai cara yang berbeda untuk mengalami dan merefleksikan kontak ilahi. Dalam upaya penyatuan itulah justru setiap agama budaya dapat saling melengkapi.[3]

Iman Kristen menolak pluralisme karena dua alasan. Pertama, iman Kristen tidak mengenal istilah "realitas ilah" karena hal ini bertentangan dengan kepribadian Allah. Kita tidak pernah dapat mempercayai bahwa manusia dengan rasionya dapat mengenal Allah secara sempurna serta kemudian merefleksikannya dalam bentuk agama-agama (1Kor 1:21). Kita dapat mengenal Allah hanya karena Dia, dalam kasihNya, mau menyatakan diriNya terlebih dahulu kepada manusia. Kedua, adanya dua sikap yang amat berbahaya di dalam pluralisme: kesatu, sikap orang-orang yang secara memaksa berusaha melenyapkan perbedaan dengan menyatukan nilai-nilai yang amat berbeda, padahal sikap inilah yang nantinya justru menimbulkan perpecahan. Selain itu adalah sikap semau-maunya membiarkan semua orang hidup menurut norma masing-masing (laissez faire). Sikap ini juga berbahaya sebab tidak semua norma bisa bersesuaian satu dengan yang lain. Pluralisme sepertinya ingin mempersiapkan "dunia globalisasi" menempuh jalan sinkretisme demi kesatuan seluruh umat manusia.

3.      Sinkritisme

Sinkretisme adalah suatu upaya untuk menyatukan agama-agama di seluruh dunia dengan harapan terbentuknya satu agama untuk seluruh umat. Penganut sinkretisme tidak mengakui adanya wahyu unik dalam agama-agama termasuk dalam agama Kristen. Mereka berpendapat bahwa setiap pengakuan terhadap keunikan wahyu suatu agama hanya akan memecahkan persatuan. Menurut keyakinan mereka, kebenaran dan ekspresi kebenaran kurang memadai kalau hanya mengandalkan satu cara agama saja. Sebab itu sinkretisme berpendapat adanya banyak cara dan jalan untuk menyadari realita ilahi. Karena itu para penganutnya merasa perlu mempersatukan atau memadukan semua "kebenaran" itu untuk menghasilkan sesuatu yang dapat dipegang bersama. Kita juga menolak sinkretisme, karena sebenarnya ajaran ini hanyalah merupakan lanjutan dari pluralisme keagamaan.[4]

Dari luar Agama-agama lain

2.      Praktik Apologetika

Menonton video Apologetika 1 dan praktik apologetika
Menonton video Apologetika 2 dan praktik apologetika
Menonton video Apologetika 3 dan praktik apologetika
Menonton video Apologetika 4 dan praktik apologetika
Menonton video Apologetika 5 dan praktik apologetika
Menonton video Apologetika 6 dan praktik apologetika
Menonton video Apologetika 7 dan praktik apologetika



[1]Beberapa ajaran berbahaya yang menyerang iman Kristen http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=346&res=jpz
[2] Relativisme. http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=347&res=jpz (Diakses tanggal, 25/12 2015)
[3] Pluralisme. http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=348&res=jpz (Diakses tanggal, 25/12 2015)
[4] SInkritisme. http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=349&res=jpz (Diakses tanggal, 25/12 2015)

Tujuan Apologetika

BAB 6
Kompetensi Dasar 6
Menjelaskan Tujuan apologetik

Apologetik Kristen tidak dilakukan tanpa tujuan melainkan memiliki tujuan sebagai berikut: [1]
1.      Apaologetika Kristen bertujuan untuk membela berita Injil terhadap kritik dan distorsi, baik karena penyalahgunaan maupun penyalahtafsiran Alkitab.
2.      Apaologetika Kristen bertujuan untuk menyaksikan kredibilitas iman Kristen; membongkar dan menghancurkan (merombak) ajaran-ajaran yang salah.
3.      Apaologetika Kristen bertujuan untuk mempertahankan dan tetap memberitakan ajaran yang benar.
4.      Apaologetika Kristen bertujuan untuk membentangkan seluas-luasnya wawasan (worldview) iman Kristen.
Tujuan Politis Apologetika Kristen.
1.      Apologetika Kristen merupakan tindakan etis terstruktur yang mempunyai tujuan yang berhubungan erat dengan keberadaan orang Kristen dalam lingkup masyarakat dalam wilayah kekuasaan politik suatu pemerintahan. Dalam hal ini, tujuan politis dari apologetik Kristen yaitu melalui apologetika yang dilakukan orang Kristen supaya orang Kristen memperoleh toleransi dan pengakuan hak yuridis akan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Upaya ini sangat dibutuhkan, khususnya bagi orang Kristen yang hidup di lingkungan mayoritas non Kristen. [2]
2.      Melalui apologetika Kristen, kita mempertanggungjawabkan kepada sesame yang tidak seiman akan hal yang benar tentang iman Kristen agar masyarakat dapat mengerti apa yang diyakini oleh orang Kristen sehingga orang lain tidak salah paham, dengan harapan agar kita dapat hidup dan bekerja sama dengan mereka dalam suasana penuh toleransi. Akan tetapi perlu dipertegas bahwa bahwa bekerja sama dan bertoleransi bukanlah sinkretisme. Bertoleransi artinya menghormati keberadaan ajaran agama lain tanpa harus melunturkan apalagi mengorbankan kebenaran ajaran iman kita. [3]
Tujuan Spiritual Apologetika Kristen
Pelaksanaan apologetika Kristen membutuhkan keberanian rohani yang besar dan benar. Keberanian ini tidak didasarkan pada ego manusia tetapi harus dilandasi oleh kenyataan, sejarah dan relevansi ajaran iman Kristen dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya secara spiritual, keberanian berapologetik Kristen dapat terlaksana karena Allah telah menyatakan diri-Nya di dalam dan melalui firman-Nya. Kebenaran inilah yang mengubah kualitas spiritual orang Kristen sehingga melalui pengenalan dan pengalaman yang benar bersama Allah sumber kebenaran dapat mendorong orang Kristen untuk memberanikan dan memampukan orang Kristen untuk melakukan pembelaan atau pertanggungjawaban atas kebenaran iman Kristen. [4]
























[1] Arti dan tujuan Apologetika. http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=342&res=jpz (Diakses tanggal, 25/12 2015)
[2] Aspek politis dan Spiritual dari apologetika. http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=343&res=jpz (Diakses tanggal, 25/12 2015)
[3] Arti dan tujuan Apologetika. http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=342&res=jpz (Diakses tanggal, 25/12 2015)
[4] Arti dan tujuan Apologetika. http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=342&res=jpz (Diakses tanggal, 25/12 2015)

Kekristenan Sebagai Suatu Filsafat

BAB 5
Kompetensi Dasar 5
Menjelaskan Kekristenan Sebagai Suatu Filsafat

Mengemukakan bahwa Kekristenan memberikan sebuah pendangan yang komprehesif berkenaan dengan dunia (sebuah pandang semestea). Hal ini memberi kita suatu penjelasan, tentang Allah juga tentang dunia yang Allah ciptakan, dan relasinya dengan Allah. Sebagai sebuah filsafat, kekristenan membicarakan metafisika (teori tentang sifat dasar dari kenyataan), epistemology (teori tentang pengetahuan), dan nilai (etika, estetika, ekonomi, dll) seperti yang telah diketahui, kekristenan merupakan suatu sudut pandang terhadap segala sesuatu. Kita percaya terdapat pandangan khas Kristen mengenai sejarah, sains, psikolog, bisnis, ekonomi, pekerjaan, sosiologi, pendidikan seni, masalah-masalah filsafat, dll. Seperti yang kita lihat sebelumnya, otoritas Allah kita bersifat komprehensif. Sehingga apapun yang kita lakukan harus direlasikan dengan Kristus. (I Kor 10 :31, dll).
Karena itu Kekristenan bersaing dengan Platonisme, Aristotelianisme, empirisme, rasionalisme, skeptisisme, materialisme, monisme, pluralisme, filsafat proses, humanisme sekular, filsafat New Age, Marxisme, dan segala filsafat-filsafat lain yang mungkin ada seperti agama-agama lain, misalnya Yudaisme, Islam, Hinduisme dan Budhisme.
Lebih jauh separasionis yang ekstrim sering kelihatan secara khusus lebih penting menentang ekspresi Kekristenan yang umum daripada terhadap agama pada umumnya. Terlalu sering, mereka tidak keberatan dengan peragaan yang berbau mistik timur atau ilmu sihir modern di sekolah-sekolah. Tetapi ketidak konsistenan ini, seperti yang mungkin kelihatan sebagai sikap yang khusus anti-kirsten dapat dimengerti.







Hubungan Apologetika dengan Penginjilan dan Metode Apologetika

BAB 4
Kompetensi Dasar 4
Hubungan Apologetika dengan Penginjilan dan Metode Apologetika

1.      Hubungan Apologetika dengan Penginjilan

Bagaimana Apakah Apologetics Berkaitan dengan Penginjilan?
Penginjilan  umumnya dipahami berbagi proklamasi atau pemberitaan tentang kabar baik (Injil) tentang Yesus Kristus. Dalam hal ini, apologetika (pembelaan/pertanggungjawaban iman) dapat dipandang sebagai pra-penginjilan atau sebagai bagian dari proses penginjilan. Pendekatan demikian akan meminimalisasi hambatan untuk kepercayaan dan mempersiapkan tanah untuk benih Injil yang akan ditaburkan. Sangat penting untuk tidak menceraikan apologetik dari penginjilan. Hal ini tidak mungkin bahwa orang yang memiliki keberatan intelektual terhadap keberadaan Tuhan atau historisitas Yesus akan menerima pesan Injil, dan apologetika akan membantu untuk menghilangkan hambatan-hambatan ini dengan menarik penalaran intelektual. Pada saat yang sama, seseorang bisa menjadi intelektual yakin kredibilitas dan bahkan kebenaran iman Kristen tapi masih tidak menjadi orang Kristen. Injil tidak hanya untuk pikiran, juga menarik bagi emosi dan, yang paling penting dari semua, untuk kehendak. Konversi terjadi ketika pikiran, hati dan kemauan yang menyerah kepada Allah dalam pertobatan dan iman. Karena itu sering akan lebih bijaksana untuk membagikan Injil seperti yang kita terlibat dalam argumen menyesal.

2.      Metode Apologetics: Apologetika yang dikawal Iman dan dilindungi Kasih

Ada banyak cara yang berbeda untuk mendekati tugas apologetika dan tidak selalu mudah untuk mengklasifikasikan pendekatan yang berbeda. Tidak ada satu skema klasifikasi keuntungan dukungan universal. Dua kemungkinan cara mengelompokkan pendekatan umum adalah:

Tergantung pada cara argumen yang dibangun[1]

1.      Metode Klasik (misalnya William Lane Craig, RC Sproul, Norman Geisler, Stephen T. Davis, Richard Swinburne) Bertujuan untuk membangun teisme melalui argumen dari alam maka untuk menyajikan bukti-bukti untuk membuktikan bahwa Kristen adalah versi yang benar dari teisme. Sebagian pendukung metode ini mengklaim bahwa tidak ada gunanya menyajikan argumen dari bukti sejarah sampai orang telah memeluk pandangan dunia teistik karena mereka akan selalu menafsirkannya berdasarkan pandangan dunia mereka sendiri.
2.      Metode Pembuktian (misalnya Gary R. Habermas, John W. Montgomery, Clark Pinnock, Wolfhart Pannenberg) Menggunakan argumen baik historis dan filosofis tetapi berfokus terutama pada bukti-bukti sejarah dan lainnya untuk kebenaran Kristen. Akan berdebat pada saat yang sama baik untuk teisme secara umum dan Kristen pada khususnya.
3.      Metode kasus kumulatif (misalnya Paul D. Feinberg, Basil Mitchell, CS Lewis, C. Stephen Evans) Daripada mendekati tugas sebagai argumen logis formal, melihat kasus untuk Kristen sebagai lebih seperti singkat pengacara membuat dalam undang-undang pengadilan - argumen informal yang menggambar bersama bukti bahwa bersama-sama membuat kasus yang menarik dengan yang ada hipotesis lain yang dapat bersaing.
4.      Metode prasuposisi (misalnya John M. Frame, Cornelius Van Til, Gordon Clark, Greg Bahnsen, Francis Schaeffer) Menekankan efek niskala dosa ke tingkat yang percaya dan tidak percaya tidak akan berbagi kesamaan cukup untuk tiga metode sebelumnya untuk mencapai tujuan mereka. Apologis harus mengandaikan kebenaran Kristen sebagai titik awal tepat untuk apologetik. Semua pengalaman ditafsirkan dan semua kebenaran yang dikenal melalui penyataan Kristen dalam Kitab Suci.
5.      Metode epistemologi Reformed (misalnya Kelly James Clark, Alvin Platinga, Nicholas Wolterstorff, George Mavrodes, William Alston) Berpendapat bahwa orang percaya banyak hal tanpa bukti dan bahwa ini adalah masuk akal. Meskipun argumen positif dalam membela agama Kristen tidak selalu salah, kepercayaan pada Allah tidak membutuhkan dukungan bukti atau argumen rasional. Fokus, oleh karena itu, cenderung lebih pada apologetik negatif, membela terhadap tantangan dengan kepercayaan teistik.








Fungsi Apologetika

BAB 3
Kompetensi Dasar 3
Menganalisis Fungsi Apologetika

Salah satu pokok yang digumuli dalam filsafat apologetika yakni: apakah apologetika mempunyai fungsi. Apa fungsi orang Kristen melakukan apologetika? Tentu jawabannya tidak sederhana, ia demikian kompleks karena ketika dipikirkan secara filsafat maka tujuan apologetika akan berkembang lebih kompleks. Tetapi paling tidak Apologetika umumnya dikatakan memiliki tiga fungsi, meskipun harus menyadari bahwa tidak semua apologis Kristen menerima bahwa semua fungsi itu valid (sebagian orang akan mengatakan bahwa kita tidak harus mencoba untuk membangun argumen positif bagi iman Kristen tetapi hanya fokus pada menyangkal tuduhan terhadap itu, ada pula pertanyaan, yaitu: seperti apa argumen harus digunakan dalam setiap fungsi apologetika. Walaupun belum ada persamaan persepsi tentang fungsi fungsi apologetika, paling tidak kita bagi apologetika dalam empat fungsi/tujuan. Walaupun seringkali masih diperdebatkan, akan tetapi keempat fungsi ini telah menjadi bagian penting dari apologetika, dan masing-masing fungsi tersebut memiliki pendukung-pendukung terkemuka di sepanjang sejarah gereja.
1.      Apologetika berfungsi pembuktian. Apologetika dalam fungsinya sebagai pembuktian, hendak menyatakan bahwa orang Kristen perlu beargumen secara filosofis maupun ilmu pengetahuan dan sejarah untuk membela iman Kristiani. Tujuan dari fungsi ini adalah untuk membangun pandangan bahwa iman Kristiani adalah sebuah wawasan yang seharusnya diterima. Dengan kata lain, kita harus membandingkan secara jelas kesimpulan logis antara wawasan Kristiani dan wawasan-wawasan lainnya.
Fungsi ini biasanya dikenal dengan argumen untuk kebenaran iman Kristen (pembenaran / bukti / apologetik positif)
2.      Apologetika berfungsi/bertujuan pembelaan. Dalam Perjanjian Baru dan di awal Kekristenan, kata apologia dipakai dalam fungsi ini, membela iman Kristiani terhadap serangan-serangan yang dilancarkan oleh kepercayaan-kepercayaan yang lain. Termasuk di dalam fungsi ini adalah tugas memperjelas pandangan Kristiani terhadap kesalah pahaman yang ada; menjawab sanggahan, kritik, ataupun pertanyaan orang-orang non-Kristiani; dan menghancurkan kesulitan intelektual yang menghalangi orang untuk percaya kepada Kristus.
3.      Apologetika berfungsi sanggahan terhadap kepercayaan lain. Fungsi ini berfokus menjawab pembelaan dari orang-orang non-Kristiani terhadap kepercayaan mereka. Rata-rata apologis setuju bahwa fungsi ini tidak dapat berdiri sendiri, karena keberhasilan membuktikan bahwa sebuah agama atau filosofi adalah salah, tidaklah serta merta membuktikan bahwa Kekristenan adalah benar. Akan tetapi, sanggahan adalah salah satu fungsi penting dari apologetika.
4.      Apologetika berfungsi bujukan atau ajakan. Bukan sekedar meyakinkan orang bahwa Kekristenan adalah benar, akan tetapi lebih jauh lagi mengajak mereka untuk menerapkan kebenaran tersebut dalam hidup mereka. Fungsi ini bertujuan untuk membawa orang-orang non-Kristen untuk mengambil komitmen kepada Kristus. Ingatlah bahwa tujuan seorang apologis bukanlah hanya untuk memenangkan perdebatan, tetapi untuk mengajak orang menyerahkan hidup dan kekekalan mereka ke dalam tangan Anak Allah yang telah mati bagi mereka.







Teori Pelaksanaan Apologetika Kristen

BAB 2

Kompetensi Dasar 2
Mengidentifikasi Teori Pelaksanaan Apologetika Kristen

Menurut John M. Frame dan Edgar C. Powell, Apologetika dapat dilakukan dalam tiga bagian, yaitu:
1.      Apologetika sebagai pembuktian atau penunjukkan, dalam arti memaparkan dasar rasional bagi iman Kristen (IKor. 15:1-11);
Frame mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya, ketiganya tidak berdiri sendiri. Kita tidak dapat melakukan yang satu tanpa melakukan yang lainnya. Selanjutnya Jhon M. Frame menjelaskan ketiga tahap pelaksanaan apologetika tersebut diatas dengan menyatakan bahwa  apologetika sebagai pembuktian menjelaskan tentang upaya dan metode untuk menyampaikan satu dasar yang rasional bagi iman Kristen, dan upaya untuk membuktikan kebenaran kekristenan.  Istilah lain yang dipakai oleh John M. Frame dalam menyebut apologetika sebagai pembuktian yaitu apologetika  pembuktian sebagai apologetika defensif. Yesus dan para Rasul sering memberikan bukti kepada mereka yang mempunyai kesulitan untuk mempercayai kebenaran Injil (Yoh. 14:11; 20; 24:31). 18) Apologetika itu dimaksudkan untuk menghahdapi ketidakpercayaan yang ada di dalam diri orang percaya.  Apologetika digunakan untuk menjelaskan eksistensi Allah dan kebenaran Injil, dan menyingkapkan kebenaran doktrin Alkitab dalam berbagai argumentasi
2.      Apologetika sebagai pertahanan atau pembelaan, artinya menjawab sanggahan-sanggahan orang tidak percaya terhadap iman Kristen (Flp. 1:7, 16)
Sedangkan apologetika sebagi pembelaan  menurut Frame, yaitu bahwa apologetika sebagai pembelaan adalah sebuah upaya untuk menjawab keberatan-keberatan dari ketidakpercayaan. Misalnya sejumlah tulisan Paulus yang menekankan apologetika sebagai suatu pembelaan. Apologetika semacam ini menekankan perihal apa yang dikatakan Alkitab tentang berbagai peristiwa dalam perspektif Alkitab.  Apologetika juga dapat dipahami sebagai penyerangan yaitu apologetika sebagai penyerangan digunakan untuk menyerang kebodohan dari (akibat dari) pikiran yang tidak percaya. (Maz. 14: 1 ; 1 Kor. 1:18 -2:16). 22) John M. Frame menyebut aspek apologetika ini sebagai apologetika Ofensif. Apologetika ofensif itu tidak hanya digunakan hanya sebagai pemberian jawab saja, tetapi juga bermakna satu serangan terhadap kepalsuan yang menyesatkan (2 Kor. 10:15). Hal ini penting, sebab sebuah kebodohan memang hams diserang, tetapi sebuah penyerangan yang arif dan bijak melalui sebuah argumentasi yang medidik. Pemikiran non Kristen adalah sebuah kebodohan, jadi tugas seorang apologis adalah untuk menyingkapkan kebodohan tersebut, seperti penyembahan berhala, ateisme. relativisme, humanisme, dan isme-isme yang lain. Apologetika menjelaskan tentang pembelaan atau memberi jawab terhadap satu doktrin, baik kritikan yang muncul dari dalam atau pun dari luar kekristenan.

3.      Apologetika sebagai Penyingkapan, yaitu menyingkapan kesalahan atau kesalah-pahaman dari pemikiran atau pemahaman orang tidak percaya terhadap kekristenan (Mzm. 14:1, IKor. 1:18-2:16).