Selasa, 18 Oktober 2016

Daftar Isi Blog Bahan Ajar Online Filsafat Apologetika

Mata Kuliah Filsafat Apologetika Kristen dibagi dalam satu Standar Kompetensi  dan dikembangkan menjadi 7 Kompetensi Dasar. Pengembangan ini didasarkan pada kebutuhan pertemuan dalam 1 semester sebanyak 14 kali pertemuan, termasuk 2 kali Ujian, yaitu UTS /TTS dan UAN/TAS. Setiap Kompetensi dibahas dalam beberapa kali pertemuan. Berikut link yang memudahkan mahasiswa untuk mencari Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Indikator dapat dicari dalam materi kuliah. Artinya tidak dibuat link khusus. Semoga menolong pebelajar Filsafat Apologetika Kristen. 

Selamat mengakses:








Praktik Apologetika

BAB 7
Kompetensi Dasar 7
Mengidentivikasi sebab-sebab Apologetika dan Prakti dan Praktik Apologetika
1.      Identivikasi sebab-sebab Apologetika Dari Ajaran Berbahaya yang Menyerang Iman Kristen

Selain ajaran iman Kristen, mungkin tidak ada ajaran lain yang begitu gencar diserang sepanjang masa. Serangan-serangan tersebut seringkali begitu kejam dan penuh penghinaan terhadap Kristus dan otoritas Alkitab. Banyak orang Kristen telah terguncang hebat dan panik tatkala menghadapinya.
Untuk dapat bertahan kita harus memahami inti dari setiap ajaran yang menyerang kemurnian iman kita, karena akar dari ajaran seperti itu pada dasarnya adalah kesalahpahaman dan pemutarbalikan firman Tuhan. Jelas, tulisan singkat ini tidak mungkin menguraikan seluruh ajaran tersebut mengingat begitu banyak dan bervariasinya mereka itu. Untuk itu dibutuhkan sebuah bidang studi khusus. Tetapi kita perlu mengetahui beberapa ajaran yang sangat berbahaya, sekalipun secara garis besarnya saja.
Ajaran-ajaran tersebut antara lain relativisme, pluralisme, sinkretisme dan beberapa ajaran teologia yang berkembang di Asia pada dewasa ini. Sebenarnya akar dari seluruh ajaran tersebut adalah penolakan terhadap keunikan Kristus dan otoritas Alkitab.[1]

1.      Relativisme

Arti istilah "relative" ditemukan dalam hubungan dan perbandingan antara sesuatu dengan yang lain. Dengan demikian, segala klaim terhadap kemutlakan dan keunikan dihapuskan. Relativisme menyangkal adanya kebenaran mutlak, maka semua nilai mutlak pun ditolak dan kebenaran yang diterimanya adalah kebenaran dalam batas relatif. Bagi penganut relativisme: nilai kebenaran sangat tergantung kepada kebudayaan, lingkungan dan orang-orang di dalamnya. Sesuatu yang dianggap benar dalam suatu kebudayaan atau lingkungan tertentu belum tentu diterima benar dalam kebudayaan dan lingkungan yang lain. Iman Kristen menolak relativisme, karena hal itu bertentangan dengan firman Tuhan. Di bidang doktrin, Alkitab mengajarkan bahwa kebenaran mutlak hanyalah berasal dari Allah, sebab hanya Dialah yang benar atau sumber kebenaran, maka standar kebenaran pun hanya bisa ditentukan oleh Dia sendiri.[2]

2.      Pluralisme

Sama halnya dengan relativisme, pluralisme pun menolak keras kebenaran mutlak. Penganut falsafah atau pandangan ini sangat mengakui dan menerima adanya berbagai ragam kebenaran. Aspirasi mereka bahkan lebih jauh dari usaha penganut relativisme; mereka berupaya mempersatukan agama-agama agar kebenaran-kebenaran yang beragam tersebut dapat saling mengisi dan melengkapi. Dalam konteks Indonesia, ajaran semacam ini sangat relevan untuk diperhatikan dalam arti diwaspadai mengingat negara kita memang memiliki keberagaman budaya dan mengakui adanya beberapa aliran kepercayaan sebagai agama resmi. Bagi pemeluk pluralisme keberagaman atau kemajemukan agama tersebut bisa dipandang sebagai akar perpecahan, karena itu potensi perpecahan sebagai akibat perbedaan itu harus dihilangkan dengan cara menolak serta menghapuskan keunikan dan kemutlakan setiap ajaran atau pengakuan terhadap suatu realitas kebenaran. Pluralisme mengajarkan suatu sikap dengan asumsi pandangan bahwa agama adalah respons kebudayaan atau kesadaran akan adanya realitas ilahi. Setiap bangsa dan masyarakat memang mempunyai cara yang berbeda untuk mengalami dan merefleksikan kontak ilahi. Dalam upaya penyatuan itulah justru setiap agama budaya dapat saling melengkapi.[3]

Iman Kristen menolak pluralisme karena dua alasan. Pertama, iman Kristen tidak mengenal istilah "realitas ilah" karena hal ini bertentangan dengan kepribadian Allah. Kita tidak pernah dapat mempercayai bahwa manusia dengan rasionya dapat mengenal Allah secara sempurna serta kemudian merefleksikannya dalam bentuk agama-agama (1Kor 1:21). Kita dapat mengenal Allah hanya karena Dia, dalam kasihNya, mau menyatakan diriNya terlebih dahulu kepada manusia. Kedua, adanya dua sikap yang amat berbahaya di dalam pluralisme: kesatu, sikap orang-orang yang secara memaksa berusaha melenyapkan perbedaan dengan menyatukan nilai-nilai yang amat berbeda, padahal sikap inilah yang nantinya justru menimbulkan perpecahan. Selain itu adalah sikap semau-maunya membiarkan semua orang hidup menurut norma masing-masing (laissez faire). Sikap ini juga berbahaya sebab tidak semua norma bisa bersesuaian satu dengan yang lain. Pluralisme sepertinya ingin mempersiapkan "dunia globalisasi" menempuh jalan sinkretisme demi kesatuan seluruh umat manusia.

3.      Sinkritisme

Sinkretisme adalah suatu upaya untuk menyatukan agama-agama di seluruh dunia dengan harapan terbentuknya satu agama untuk seluruh umat. Penganut sinkretisme tidak mengakui adanya wahyu unik dalam agama-agama termasuk dalam agama Kristen. Mereka berpendapat bahwa setiap pengakuan terhadap keunikan wahyu suatu agama hanya akan memecahkan persatuan. Menurut keyakinan mereka, kebenaran dan ekspresi kebenaran kurang memadai kalau hanya mengandalkan satu cara agama saja. Sebab itu sinkretisme berpendapat adanya banyak cara dan jalan untuk menyadari realita ilahi. Karena itu para penganutnya merasa perlu mempersatukan atau memadukan semua "kebenaran" itu untuk menghasilkan sesuatu yang dapat dipegang bersama. Kita juga menolak sinkretisme, karena sebenarnya ajaran ini hanyalah merupakan lanjutan dari pluralisme keagamaan.[4]

Dari luar Agama-agama lain

2.      Praktik Apologetika

Menonton video Apologetika 1 dan praktik apologetika
Menonton video Apologetika 2 dan praktik apologetika
Menonton video Apologetika 3 dan praktik apologetika
Menonton video Apologetika 4 dan praktik apologetika
Menonton video Apologetika 5 dan praktik apologetika
Menonton video Apologetika 6 dan praktik apologetika
Menonton video Apologetika 7 dan praktik apologetika



[1]Beberapa ajaran berbahaya yang menyerang iman Kristen http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=346&res=jpz
[2] Relativisme. http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=347&res=jpz (Diakses tanggal, 25/12 2015)
[3] Pluralisme. http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=348&res=jpz (Diakses tanggal, 25/12 2015)
[4] SInkritisme. http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=349&res=jpz (Diakses tanggal, 25/12 2015)

Tujuan Apologetika

BAB 6
Kompetensi Dasar 6
Menjelaskan Tujuan apologetik

Apologetik Kristen tidak dilakukan tanpa tujuan melainkan memiliki tujuan sebagai berikut: [1]
1.      Apaologetika Kristen bertujuan untuk membela berita Injil terhadap kritik dan distorsi, baik karena penyalahgunaan maupun penyalahtafsiran Alkitab.
2.      Apaologetika Kristen bertujuan untuk menyaksikan kredibilitas iman Kristen; membongkar dan menghancurkan (merombak) ajaran-ajaran yang salah.
3.      Apaologetika Kristen bertujuan untuk mempertahankan dan tetap memberitakan ajaran yang benar.
4.      Apaologetika Kristen bertujuan untuk membentangkan seluas-luasnya wawasan (worldview) iman Kristen.
Tujuan Politis Apologetika Kristen.
1.      Apologetika Kristen merupakan tindakan etis terstruktur yang mempunyai tujuan yang berhubungan erat dengan keberadaan orang Kristen dalam lingkup masyarakat dalam wilayah kekuasaan politik suatu pemerintahan. Dalam hal ini, tujuan politis dari apologetik Kristen yaitu melalui apologetika yang dilakukan orang Kristen supaya orang Kristen memperoleh toleransi dan pengakuan hak yuridis akan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Upaya ini sangat dibutuhkan, khususnya bagi orang Kristen yang hidup di lingkungan mayoritas non Kristen. [2]
2.      Melalui apologetika Kristen, kita mempertanggungjawabkan kepada sesame yang tidak seiman akan hal yang benar tentang iman Kristen agar masyarakat dapat mengerti apa yang diyakini oleh orang Kristen sehingga orang lain tidak salah paham, dengan harapan agar kita dapat hidup dan bekerja sama dengan mereka dalam suasana penuh toleransi. Akan tetapi perlu dipertegas bahwa bahwa bekerja sama dan bertoleransi bukanlah sinkretisme. Bertoleransi artinya menghormati keberadaan ajaran agama lain tanpa harus melunturkan apalagi mengorbankan kebenaran ajaran iman kita. [3]
Tujuan Spiritual Apologetika Kristen
Pelaksanaan apologetika Kristen membutuhkan keberanian rohani yang besar dan benar. Keberanian ini tidak didasarkan pada ego manusia tetapi harus dilandasi oleh kenyataan, sejarah dan relevansi ajaran iman Kristen dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya secara spiritual, keberanian berapologetik Kristen dapat terlaksana karena Allah telah menyatakan diri-Nya di dalam dan melalui firman-Nya. Kebenaran inilah yang mengubah kualitas spiritual orang Kristen sehingga melalui pengenalan dan pengalaman yang benar bersama Allah sumber kebenaran dapat mendorong orang Kristen untuk memberanikan dan memampukan orang Kristen untuk melakukan pembelaan atau pertanggungjawaban atas kebenaran iman Kristen. [4]
























[1] Arti dan tujuan Apologetika. http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=342&res=jpz (Diakses tanggal, 25/12 2015)
[2] Aspek politis dan Spiritual dari apologetika. http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=343&res=jpz (Diakses tanggal, 25/12 2015)
[3] Arti dan tujuan Apologetika. http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=342&res=jpz (Diakses tanggal, 25/12 2015)
[4] Arti dan tujuan Apologetika. http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=342&res=jpz (Diakses tanggal, 25/12 2015)

Kekristenan Sebagai Suatu Filsafat

BAB 5
Kompetensi Dasar 5
Menjelaskan Kekristenan Sebagai Suatu Filsafat

Mengemukakan bahwa Kekristenan memberikan sebuah pendangan yang komprehesif berkenaan dengan dunia (sebuah pandang semestea). Hal ini memberi kita suatu penjelasan, tentang Allah juga tentang dunia yang Allah ciptakan, dan relasinya dengan Allah. Sebagai sebuah filsafat, kekristenan membicarakan metafisika (teori tentang sifat dasar dari kenyataan), epistemology (teori tentang pengetahuan), dan nilai (etika, estetika, ekonomi, dll) seperti yang telah diketahui, kekristenan merupakan suatu sudut pandang terhadap segala sesuatu. Kita percaya terdapat pandangan khas Kristen mengenai sejarah, sains, psikolog, bisnis, ekonomi, pekerjaan, sosiologi, pendidikan seni, masalah-masalah filsafat, dll. Seperti yang kita lihat sebelumnya, otoritas Allah kita bersifat komprehensif. Sehingga apapun yang kita lakukan harus direlasikan dengan Kristus. (I Kor 10 :31, dll).
Karena itu Kekristenan bersaing dengan Platonisme, Aristotelianisme, empirisme, rasionalisme, skeptisisme, materialisme, monisme, pluralisme, filsafat proses, humanisme sekular, filsafat New Age, Marxisme, dan segala filsafat-filsafat lain yang mungkin ada seperti agama-agama lain, misalnya Yudaisme, Islam, Hinduisme dan Budhisme.
Lebih jauh separasionis yang ekstrim sering kelihatan secara khusus lebih penting menentang ekspresi Kekristenan yang umum daripada terhadap agama pada umumnya. Terlalu sering, mereka tidak keberatan dengan peragaan yang berbau mistik timur atau ilmu sihir modern di sekolah-sekolah. Tetapi ketidak konsistenan ini, seperti yang mungkin kelihatan sebagai sikap yang khusus anti-kirsten dapat dimengerti.







Hubungan Apologetika dengan Penginjilan dan Metode Apologetika

BAB 4
Kompetensi Dasar 4
Hubungan Apologetika dengan Penginjilan dan Metode Apologetika

1.      Hubungan Apologetika dengan Penginjilan

Bagaimana Apakah Apologetics Berkaitan dengan Penginjilan?
Penginjilan  umumnya dipahami berbagi proklamasi atau pemberitaan tentang kabar baik (Injil) tentang Yesus Kristus. Dalam hal ini, apologetika (pembelaan/pertanggungjawaban iman) dapat dipandang sebagai pra-penginjilan atau sebagai bagian dari proses penginjilan. Pendekatan demikian akan meminimalisasi hambatan untuk kepercayaan dan mempersiapkan tanah untuk benih Injil yang akan ditaburkan. Sangat penting untuk tidak menceraikan apologetik dari penginjilan. Hal ini tidak mungkin bahwa orang yang memiliki keberatan intelektual terhadap keberadaan Tuhan atau historisitas Yesus akan menerima pesan Injil, dan apologetika akan membantu untuk menghilangkan hambatan-hambatan ini dengan menarik penalaran intelektual. Pada saat yang sama, seseorang bisa menjadi intelektual yakin kredibilitas dan bahkan kebenaran iman Kristen tapi masih tidak menjadi orang Kristen. Injil tidak hanya untuk pikiran, juga menarik bagi emosi dan, yang paling penting dari semua, untuk kehendak. Konversi terjadi ketika pikiran, hati dan kemauan yang menyerah kepada Allah dalam pertobatan dan iman. Karena itu sering akan lebih bijaksana untuk membagikan Injil seperti yang kita terlibat dalam argumen menyesal.

2.      Metode Apologetics: Apologetika yang dikawal Iman dan dilindungi Kasih

Ada banyak cara yang berbeda untuk mendekati tugas apologetika dan tidak selalu mudah untuk mengklasifikasikan pendekatan yang berbeda. Tidak ada satu skema klasifikasi keuntungan dukungan universal. Dua kemungkinan cara mengelompokkan pendekatan umum adalah:

Tergantung pada cara argumen yang dibangun[1]

1.      Metode Klasik (misalnya William Lane Craig, RC Sproul, Norman Geisler, Stephen T. Davis, Richard Swinburne) Bertujuan untuk membangun teisme melalui argumen dari alam maka untuk menyajikan bukti-bukti untuk membuktikan bahwa Kristen adalah versi yang benar dari teisme. Sebagian pendukung metode ini mengklaim bahwa tidak ada gunanya menyajikan argumen dari bukti sejarah sampai orang telah memeluk pandangan dunia teistik karena mereka akan selalu menafsirkannya berdasarkan pandangan dunia mereka sendiri.
2.      Metode Pembuktian (misalnya Gary R. Habermas, John W. Montgomery, Clark Pinnock, Wolfhart Pannenberg) Menggunakan argumen baik historis dan filosofis tetapi berfokus terutama pada bukti-bukti sejarah dan lainnya untuk kebenaran Kristen. Akan berdebat pada saat yang sama baik untuk teisme secara umum dan Kristen pada khususnya.
3.      Metode kasus kumulatif (misalnya Paul D. Feinberg, Basil Mitchell, CS Lewis, C. Stephen Evans) Daripada mendekati tugas sebagai argumen logis formal, melihat kasus untuk Kristen sebagai lebih seperti singkat pengacara membuat dalam undang-undang pengadilan - argumen informal yang menggambar bersama bukti bahwa bersama-sama membuat kasus yang menarik dengan yang ada hipotesis lain yang dapat bersaing.
4.      Metode prasuposisi (misalnya John M. Frame, Cornelius Van Til, Gordon Clark, Greg Bahnsen, Francis Schaeffer) Menekankan efek niskala dosa ke tingkat yang percaya dan tidak percaya tidak akan berbagi kesamaan cukup untuk tiga metode sebelumnya untuk mencapai tujuan mereka. Apologis harus mengandaikan kebenaran Kristen sebagai titik awal tepat untuk apologetik. Semua pengalaman ditafsirkan dan semua kebenaran yang dikenal melalui penyataan Kristen dalam Kitab Suci.
5.      Metode epistemologi Reformed (misalnya Kelly James Clark, Alvin Platinga, Nicholas Wolterstorff, George Mavrodes, William Alston) Berpendapat bahwa orang percaya banyak hal tanpa bukti dan bahwa ini adalah masuk akal. Meskipun argumen positif dalam membela agama Kristen tidak selalu salah, kepercayaan pada Allah tidak membutuhkan dukungan bukti atau argumen rasional. Fokus, oleh karena itu, cenderung lebih pada apologetik negatif, membela terhadap tantangan dengan kepercayaan teistik.








Fungsi Apologetika

BAB 3
Kompetensi Dasar 3
Menganalisis Fungsi Apologetika

Salah satu pokok yang digumuli dalam filsafat apologetika yakni: apakah apologetika mempunyai fungsi. Apa fungsi orang Kristen melakukan apologetika? Tentu jawabannya tidak sederhana, ia demikian kompleks karena ketika dipikirkan secara filsafat maka tujuan apologetika akan berkembang lebih kompleks. Tetapi paling tidak Apologetika umumnya dikatakan memiliki tiga fungsi, meskipun harus menyadari bahwa tidak semua apologis Kristen menerima bahwa semua fungsi itu valid (sebagian orang akan mengatakan bahwa kita tidak harus mencoba untuk membangun argumen positif bagi iman Kristen tetapi hanya fokus pada menyangkal tuduhan terhadap itu, ada pula pertanyaan, yaitu: seperti apa argumen harus digunakan dalam setiap fungsi apologetika. Walaupun belum ada persamaan persepsi tentang fungsi fungsi apologetika, paling tidak kita bagi apologetika dalam empat fungsi/tujuan. Walaupun seringkali masih diperdebatkan, akan tetapi keempat fungsi ini telah menjadi bagian penting dari apologetika, dan masing-masing fungsi tersebut memiliki pendukung-pendukung terkemuka di sepanjang sejarah gereja.
1.      Apologetika berfungsi pembuktian. Apologetika dalam fungsinya sebagai pembuktian, hendak menyatakan bahwa orang Kristen perlu beargumen secara filosofis maupun ilmu pengetahuan dan sejarah untuk membela iman Kristiani. Tujuan dari fungsi ini adalah untuk membangun pandangan bahwa iman Kristiani adalah sebuah wawasan yang seharusnya diterima. Dengan kata lain, kita harus membandingkan secara jelas kesimpulan logis antara wawasan Kristiani dan wawasan-wawasan lainnya.
Fungsi ini biasanya dikenal dengan argumen untuk kebenaran iman Kristen (pembenaran / bukti / apologetik positif)
2.      Apologetika berfungsi/bertujuan pembelaan. Dalam Perjanjian Baru dan di awal Kekristenan, kata apologia dipakai dalam fungsi ini, membela iman Kristiani terhadap serangan-serangan yang dilancarkan oleh kepercayaan-kepercayaan yang lain. Termasuk di dalam fungsi ini adalah tugas memperjelas pandangan Kristiani terhadap kesalah pahaman yang ada; menjawab sanggahan, kritik, ataupun pertanyaan orang-orang non-Kristiani; dan menghancurkan kesulitan intelektual yang menghalangi orang untuk percaya kepada Kristus.
3.      Apologetika berfungsi sanggahan terhadap kepercayaan lain. Fungsi ini berfokus menjawab pembelaan dari orang-orang non-Kristiani terhadap kepercayaan mereka. Rata-rata apologis setuju bahwa fungsi ini tidak dapat berdiri sendiri, karena keberhasilan membuktikan bahwa sebuah agama atau filosofi adalah salah, tidaklah serta merta membuktikan bahwa Kekristenan adalah benar. Akan tetapi, sanggahan adalah salah satu fungsi penting dari apologetika.
4.      Apologetika berfungsi bujukan atau ajakan. Bukan sekedar meyakinkan orang bahwa Kekristenan adalah benar, akan tetapi lebih jauh lagi mengajak mereka untuk menerapkan kebenaran tersebut dalam hidup mereka. Fungsi ini bertujuan untuk membawa orang-orang non-Kristen untuk mengambil komitmen kepada Kristus. Ingatlah bahwa tujuan seorang apologis bukanlah hanya untuk memenangkan perdebatan, tetapi untuk mengajak orang menyerahkan hidup dan kekekalan mereka ke dalam tangan Anak Allah yang telah mati bagi mereka.







Teori Pelaksanaan Apologetika Kristen

BAB 2

Kompetensi Dasar 2
Mengidentifikasi Teori Pelaksanaan Apologetika Kristen

Menurut John M. Frame dan Edgar C. Powell, Apologetika dapat dilakukan dalam tiga bagian, yaitu:
1.      Apologetika sebagai pembuktian atau penunjukkan, dalam arti memaparkan dasar rasional bagi iman Kristen (IKor. 15:1-11);
Frame mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya, ketiganya tidak berdiri sendiri. Kita tidak dapat melakukan yang satu tanpa melakukan yang lainnya. Selanjutnya Jhon M. Frame menjelaskan ketiga tahap pelaksanaan apologetika tersebut diatas dengan menyatakan bahwa  apologetika sebagai pembuktian menjelaskan tentang upaya dan metode untuk menyampaikan satu dasar yang rasional bagi iman Kristen, dan upaya untuk membuktikan kebenaran kekristenan.  Istilah lain yang dipakai oleh John M. Frame dalam menyebut apologetika sebagai pembuktian yaitu apologetika  pembuktian sebagai apologetika defensif. Yesus dan para Rasul sering memberikan bukti kepada mereka yang mempunyai kesulitan untuk mempercayai kebenaran Injil (Yoh. 14:11; 20; 24:31). 18) Apologetika itu dimaksudkan untuk menghahdapi ketidakpercayaan yang ada di dalam diri orang percaya.  Apologetika digunakan untuk menjelaskan eksistensi Allah dan kebenaran Injil, dan menyingkapkan kebenaran doktrin Alkitab dalam berbagai argumentasi
2.      Apologetika sebagai pertahanan atau pembelaan, artinya menjawab sanggahan-sanggahan orang tidak percaya terhadap iman Kristen (Flp. 1:7, 16)
Sedangkan apologetika sebagi pembelaan  menurut Frame, yaitu bahwa apologetika sebagai pembelaan adalah sebuah upaya untuk menjawab keberatan-keberatan dari ketidakpercayaan. Misalnya sejumlah tulisan Paulus yang menekankan apologetika sebagai suatu pembelaan. Apologetika semacam ini menekankan perihal apa yang dikatakan Alkitab tentang berbagai peristiwa dalam perspektif Alkitab.  Apologetika juga dapat dipahami sebagai penyerangan yaitu apologetika sebagai penyerangan digunakan untuk menyerang kebodohan dari (akibat dari) pikiran yang tidak percaya. (Maz. 14: 1 ; 1 Kor. 1:18 -2:16). 22) John M. Frame menyebut aspek apologetika ini sebagai apologetika Ofensif. Apologetika ofensif itu tidak hanya digunakan hanya sebagai pemberian jawab saja, tetapi juga bermakna satu serangan terhadap kepalsuan yang menyesatkan (2 Kor. 10:15). Hal ini penting, sebab sebuah kebodohan memang hams diserang, tetapi sebuah penyerangan yang arif dan bijak melalui sebuah argumentasi yang medidik. Pemikiran non Kristen adalah sebuah kebodohan, jadi tugas seorang apologis adalah untuk menyingkapkan kebodohan tersebut, seperti penyembahan berhala, ateisme. relativisme, humanisme, dan isme-isme yang lain. Apologetika menjelaskan tentang pembelaan atau memberi jawab terhadap satu doktrin, baik kritikan yang muncul dari dalam atau pun dari luar kekristenan.

3.      Apologetika sebagai Penyingkapan, yaitu menyingkapan kesalahan atau kesalah-pahaman dari pemikiran atau pemahaman orang tidak percaya terhadap kekristenan (Mzm. 14:1, IKor. 1:18-2:16).


















Pengertian Filsafat Apologetika

BAB 1

Kompetensi Dasar 1:
Mahasiswa mampu merumuskan pengertian “Filsafat Apologetika”

1.     Pengertian Filsafat Apologetika

Apa itu “Filsafat Apologetika”

Upaya menjawab pertanyaan di atas, kita lakukan dengan cara menguraikan arti filsafat, apologetika, dan filsafat apologetika. Kita mulai dengan pokok pertama, arti filsafat.

1.1.            Pengertian Filsafat

Sudah menjadi tradisi akademis setiap pergantian semester selalu ada tugas mengajar yang diberi oleh sekolah melalui bidang akademik kepada setiap dosen untuk mempersiapkan diri dalam hal mengajar di semester baru. Salah satu mata kuliah yang dipercayakan kepada saya untuk disampaikan dalam semester Januari – Mei 2016 yakni mata kuliah “Apologetika”. Ketika menerima Jadwal didalamnya tertulis mata kuliah “Filsafat Apologetika”. Sebelumnya saya sudah mempersiapkan materi “Apologetika” tetapi persipan tersebut harus mengalami perubahan sesuai dengan nama mata kuliah yaitu: “Filsafat Apologetika”. Paradigmanya penyajian materi kuliah tentu berbeda, materi “Apologetika”  tentu berbeda makna dengan materi “Filsafat Apologetika”. Saya berharap mahasiswa telah siap dalam berpikir “filsafat”. Kesiapan ini penting karena kita akan mengkaji “Apologetika” (Apaologetika Kristen) dalam pendekatan atau cara kerja filsafat.
Itulah sebabnya dalam studi “Filsafat Apologetika”, saya mengajukan pertanyaan pertama: Apa itu “Filsafat Apologetika”? Menjawab pertanyaan ini, perlu kita lakukan dua hal pokok, yaitu berusaha mencari arti filsafat dan apologetika, kemudian kita meneruskannya dengan merumuskan pengertian filsafat apologetika, serta pokok-pokok selanjutnya yang sesuai dengan kompetensi yang hendak diwujudkan oleh para mahasiswa yang mengikuti mata kuliah “Filsafat Apologetika”.

Kini kita memulai usaha memberi jawaban atas pertanyaan: Apa itu “Filsafat Apologetika” dengan usaha mencari makna kata filsafat, apologetika dan filsafat Apologetika.

Kita mulai dengan arti filsafat.

Berdasarkan pengalaman ketika menjadi mahasiswa yaitu ada sejumlah kesulitan memahami apa pengertian filsafat yang secara teknis operasional mendarat dan menjiwai seseorang dalam belajar filsafat dan menerapkannya. Saya kemudian mendapat salah satu jawaban, yaitu usaha mengerti filsafat secara baik, terukur dan mengyemangati roh filsafat dalam diri pelaku studi filsafat yaitu dengan memahami percakapan Sokrates dan murid-muridnya.

Robert R. Boehlke dalam bukunya berjudul “Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen dari Plato sampai Ig. Loyola (2013:2-3) mengutip Muchtar Jahya tentang contoh gaya mengajar Sokrates yang dibuat oleh Guru besar John  Adams dari Universitas Oxford dengan isi tanya jawab sebagai berikut.

Sokrates: “Apakah yang dimaksud dengan serangga (insect) itu?
Murid: “Serangga ialah binatang kecil bersayap.” (Murid yakin bahwa jawabannya itu benar)

Sokrates: Kalau begitu, tentu ayampun boleh kita namai serangga.”
Murid: Ayam bukan demikian kecilnya hingga dapat dinamai serangga. Ayam itu amat besar kalau dibandingkan dengan serangga.”
Sokrates: “Jadinya: Serangga ialah binatang yang amat kecil, mempunyai sayap.”

Murid: “Betul!”
Sokrates: “Kalau demikian, burung pipit dapat dinamai serangga, sebab dia demikian kecilnya”.
Murid: “Tidak! Burung sekali-kali tidak dapat dinamai serangga, sebab dia demikian kecilnya.”
Sokrates: Jadinya: Serangga ialah binatang yang amat kecil, dia bersayap, tetapi bukan dari jenis burung.”

Murid: “Benar”
Sokrates: “Kemarin saya memasuki salah satu took, di dalamnya saya melihat kaleng-kaleng kecil. Pada masing-masing kaleng itu tertulis: Tepung keating yang paling manjur untuk memberantas serangga.” Pada masing-masing kaleng itu tergambar beberapa macam binatang kecil bukan dari jenis burung, tetapi tidak ada mempunyai sayap, umpama pijat-pijat, kutu kucing dll. Rupa-rupanya mereka salah menamakan binatang-binatang tersebut serangga, sebab masing-masing tidak bersayap. Adakah masuk akal serangga tidak bersayap, menurut yang telah kita tetapkan itu?”
Murid: “Binatang-binatang tersebut memang serangga, semua orang tahu itu.”
Sokrates: “Aneh, aneh. Apa pulakah arti serangga sekarang, menurut pikiranmu. Apakah sekaran kau berpendapat bahwa “Serangga ialah binatang yang amat kecil, mempunyai sayap, bukan dari jenis burung, dan kadang-kadang tidak bersayap.’ Sesungguhnya perkataan ini amat berlawan-lawanan.”
Murid: “Celaka! Pertanyaan-pertanyaan orang ini membosankan. Coba tuan sendiri yang menerangkan kepada kami, apa arti serangga itu, supaya kami puas dan tuanpun puas.”
Sokrates: “Bukankah dari tadi saya bilang padamu bahwa saya sendiri pun tidak mengetahui.
Sekarang mari kita periksa bersama-sama, moga-moga kita sampai pada hakikat sebenarnya. Jalan yang paling baik ialah kita ambil 3 atau 4 ekor serangga dari jenis yang bermacam-macam, kemudian kita bandingkan satu dengan yang lain, untuk mengetahui sifat-sifat yang sama. Apakah serangga yang akan kita ambil?”
Murid: “Mari kita ambil kupu-kupu, semut, kerangga dan kumbang
Sokrates: “Bagus”
Berdasarkan jenis-jenis serangkan itu mereka merumuskan berdasarkan fakta tentang “apa itu serangga?”
Serangga ialah binatang beruas, kulitnya kesat, lagi keras, kakinya enam, mempunyai sayap, atau bekas sayap.”

Berdasarkan percakapan dialogis di atas, kita belajar apa artinya berpikir radikal/mendalam terhadap salah satu realitas (Salah satnya: Serangga). Mudah-mudahan dialog diatas menolong kita memahami apa itu filsafat dalam arti berpikir mendalam/radikal terhadap realitas dan merumuskan realitas tersebut yang kemudian menghasilkan kebenaran.

Belajar filsafat memang menyenangkan tetapi juga membingungkan. Hal yang terakhir ini disebabkan karena terdapat ragam pengertian tentang filsafat. Saya tidak menjanjikan dan menjamin bahwa materi ini memberi sumber pemahaman yang tuntas tentang apa itu filsafat. Hal itu sulit diwujudkan. Namun perlu disadari bahwa keragaman pengertian filsafat bukanlah sesuatu yang menyesatkan, hal itu wajar saja karena setiap orang memberi arti sesuai dengan pemahamannya. Selanjutnya sesuai dengan topik yakni "pengertian filsafat" maka dalam postingan ini saya menjelaskan tentang pengertian filsafat. Pengertian yang saya paparkan ini telah mendorong/mensemangati saya dalam mengajar Filsafat Ilmu dalam bidang Pendidikan Kristen maupun Teologi Penggembalaan.

Menurut Jan Hendrik Rapar, filsafat adalah mater scientiarum atau induk ilmu pengetahuan karena memang filsafatlah yang telah melahirkan segala ilmu.
Menurut para rohaniawan dan teolog menyatakan filsafat sebagai “ancilla theologiae”, yaitu budak atau pelayan teologi. Sebagai pelayan teologi, filsafat memiliki tugas memformulasikan argumentasi-argumentasi yang kuat untuk membela isi iman Kristen. Ada pula rohaniawan dan teolog yang menuding filsafat sebagai alat iblis terkutuk. Karena itu harus ditolak oleh semua orang beriman.
Tudingan ini tidak sepenuhnya benar, Tuhan tidak menciptakan manusia sebagai robot, manusia memiliki pikiran. Dengan pikiran itu manusia berfilsafat (berpikir). Namun tidak kegiatan berpikir dikategorikan filsafat. Berpikir yang dikategorikan filsafat  adalah berpikir yang berlangsung dalam syarat-syarat tertentu (Rapar, 2000:12-13). Memang harus diakui bahwa berpikir yang berciri filsafat dapat membawa seseorang pada dua pilihan, yaitu kesetiaan kepada iman atau penyimpangan iman (alias tidak mengakui adanya Tuhan). Oleh karena itu berfilsafat harus berlangsung dalam kawalan iman dan perlindungan kasih.

Untuk memahami filsafat, maka saya merumuskan pengertian filsafat dalam dua pendekatan. Pertama, secara etimologi dan kedua secara konseptual (definisi para ahli filsafat).

Secara etimologi, filsafat berasal dari bahasa Yunani, dari kata “philosophia”. Kata “philosophia” merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata: “philos” dan “Sophia”. Kata “philos” berarti kekasih, atau bisa juga sahabat. Sedangkan “Sophia” berarti kebijaksanaan atau kearifan atau juga pengetahuan.
Jadi, arti harafiah “philosophia” berarti yang mencintai kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan.

Definisi para ahli:

Plato dalam Jan Hendrik Rapar menyatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada atau filsafat adalah usaha mencari kejelasan dan kecermatan secara gigih yang dilakukan secara terus menerus (Louis O. Kattsoff, 1996:2)

Aristoteles (Murid Plato) mengemukakan beberapa pengertian filsafat. Pertama, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas yang ada. Kedua, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari “peri ada selaku peri ada” (being as being) atau peri ada sebagaimana adanya (being as such).
Rene Descartes (Filsuf Prancis)
Argumen yang terkenal dari Descartes yakni: “Aku berpikir maka aku ada” (cogito ergo sum). Jadi, filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia.
William James (Filsuf Amerika), Filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang.

R.F. Beerling (mantan guru besar filsafat UI) menyatakan filsafat adalah suatu usaha untuk mencari radix atau akar pengetahuan tentang diri sendiri.
Louis Kattsoff, filsafat membawa kita kepada pemahaman, dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Kegiatan kefilsafatan ialah pemikiran secara sistematis. Filsafat senantiasa bersifat menyeluruh/komprehensif (Louis O. Kattsoff, 1996:3-4, 6, 12)
Berpikir radikal (berpikir mendalam) tidak berarti mengubah, membuang, atau menjungkirbalikan segala sesuatu, melainkan dalam arti sebenarnya, yaitu berpikir secara mendalam untuk mencapai akar persoalan yang dipermasalahkan. Berpikir radikal sebenarnya hendak memperjelas realitas, lewat penerimaan serta pemahaman akan akar realitas itu sendiri (Rapar, 2000:21)
Yonas Muanley, filsafat adalah berpikir radikal atau berpikir mendalam terhadap realitas (realitas/ada secara menyeluruh maupun salah satu realitas). Salah satu realitas itu yakni “apologetika” (pembelaan) yang dilakukan orang Kristen. Selanjutnya lihat: http://bahanajaronline.blogspot.co.id (Blog Filsafat oleh: Yonas Muanley)


1.2.            Pengertian Apologetika (Apologetika Kristen)
a.      Secara etimologi
Dalam Wikipedia kita mendapat penjelasan tentang apologetika dari beberapa pengertian. Salah satunya yakni dari sisi etimologi. Secara etimologi, apaologetika merupakan kata Yunani Kuno resmi yang didalamnya terdapat dua kunci istilah yang bersifat teknis. Kedua istilah yang dimaksud yakni penuntutan menghasilkan kategoria, dan tergugat membalas dengan sebuah apologia. Membuat sebuah apologia berarti membuat sebuah khotbah yang resmi atau memberi sebuah penjelasan untuk menjawab dan membantah tuntutan, seperti dalam hal pertahan yang ditunjukkan oleh Socrates.[1]  Selain itu kita juga mendapat informasi dari sumber-sumber lain yang menyatakan bahwa kata apologetika berasal dari Yunani à Apologia = Pembelaan = Apologeoma. Apo = dari pada; logos : kata; bahasa. Apologeomai = berbicara dari pada (diri sendiri) atau membela diri.
Jadi apologetika berarti:
1) Pembela tindakan
2) Pembela kebenaran
3) Kepercayaan atas kebenaran itu

b.      Secara Biblikal
Apa yang kita maksudkan dengan pengertian apologetika secara biblical?. Artinya yakni mengartikan pengertian apologetika berdasarkan konteks penggunaan kata “apologetika: dalam Perjanjian Baru. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kata apologia dipakai dalam PB, baik dalam bentuk kata benda ataupun kata kerja, penggunaan kata itu dapat diterjemahkan sebagai “pembelaan” atau “pembenaran” di setiap kalinya. Filipi 1:7,16 mencatat panggilan untuk memberikan pembelaan iman yang rasional ; terlebih lagi 1 Petrus 3:15, akan tetapi, memang tidak tercatat teori lengkap mengenai apologetika dicatat di dalam Alkitab.
Untuk konkritnya, kita lihat dalam beberapa ayat berikut:
Misalnya :
Kis 22 :1        “sebagai pembelaan diri” = Apologia
Kis 25 :16      “membela diri” =
I Kor 9:3        “pembelaanku” =
II Kor 7 : 11   “pembelaan diri” =
Fil 1:7, 16       “membela”, “membela injil” =
II Tim 4 :16    “pembelaanku” =
I Pet 3 :15      “memberi pertanggungjawaban” = Yesus itu Tuhan    KURIOS,  Raja diatas raja , Tuan diatas Tuan

Perlu kita ketahui bahwa kata apologia dan apologeomai selalu digunakan dalam dunia Yunani pra Kristen. Ketika Kristen berkembang dalam kebudyaan Hellenisme, kata apologia dan apologeomai dipakai oleh orang-orang Kristen perdana (penulis Injil) dan para rasul Yesus Kristus. Sehingga kedua kata itu dapat diterjemahkan dengan kata Indonesia yaitu “pembelaan" atau "pertanggungjawaban" dan "membela diri" atau "mempertanggungjawabkan diri". Kegiatan ini dapat kita jumpai dalam Perjanjian Baru. Misalnya arti apologia dalam Kisah Para Rasul 25:16 ialah kesempatan yang diberikan kepada seorang pesakitan untuk membela dirinya terhadap dakwaan dalam suatu perkara. Rasul Paulus berbicara di hadapan Agripa tentang kesempatan yang diberikan kepadanya sebagai warga Negara Roma "untuk membela diri (apologia) terhadap tuduhm itu." Dalam 2 Timotius 4:16 kita menyaksikan bagaimana Paulus menggunakan kesempatan itu di Roma untuk pertama kalinya mengajukan pembelaan dalam perkara pendakwaan atas dirinya.
Dalam Kisah Para Rasul, kita juga menemukan arti apologia yakni pidato pembelaan. Kita dapat memperhatikan pidato yang diucapkan Paulus di Yerusalem maupun pidatonya di hadapan Festus dan Agripa serta pidato Stefanus di hadapan Dewan Agung. Inilah apologia dalam Kisah Para Rasul (J. Verkuyl, 1966:7-8). Apologia juga dikemukakan dalam Filipi 1:16 dan Filipi 1:7. Dalam kedua teks ini, apaologia lebih mendekati arti teologisnya yakni apologia dalam arti membela kebenaran Injil pada umumnya.
Penggunaan kata apologi dalam Perjanjian Baru dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban atas isi iman Kristen terhadap mereka yang menuntut pertanggungjawaban dari kita. Sedangkan apologetika dapat diartikan sebagai pemikiran secara ilmiah tentang pertanyaan yang diajukan kepada kita dan cara bagaimana memberi peertanggungjawaban atas kepercayaan kita. Dalam hal ini, antara apologi dan apologetika terdapat hubungan yang erat sekali. Kedua-duanya ialah mengenai pertanggungjawaban atas isi iman itu. Bedanya hanya dalam tekanan dan sasaran.
Jadi, menurut Alkitab, apologetika berarti: Memberi jawab I Kor 3 :15/ Yudas 3 5) Pembelaan (diri pemberita). Menjelaskan berita = menyatakan kebenaran. Contoh : Paulus konsisten dengan beritanya. 6) Menjernihkan (mengklirkan), memisahkan yang salah (ajaran-ajaran yang tidak sama dengan Firman Allah).

c.       Apologetika Abad Ke-2: Apologetika Yustinus Martir

Di abad ke-2, kata umum untuk “pembelaan” ini mulai menyempit dan mengarah kepada sekelompok penulis yang membela iman kepercayaan Kristiani terhadap serangan-serangan. Orang-orang ini dikenal sebagai apologis, seturut dengan judul-judul tulisan mereka, tetapi, baru pada tahun 1974 apologetika mulai digunakan sebagai salah satu disiplin teologi yang khusus.
Salah satu apologetika abad kedua dapat kita perhatikan dalam APologetika Yustinus Martir
Menurut F.D. Wellem, Yustinus Martir adalah seorang apologet Kristen (Bapak Apologet terpenting pada abad ke-2) yang terkemuka dalam gereja abad ke-2.  Selain sebagai apologet, Yustinus juga dikenal sebagai filsuf dan MartirYustinus adalah seorang pencari kebenaran yang sejati. Yustinus memiliki kerinduan agar segera menemukan kebenaran yang sejati (langsung bertemu dengan Allah).[2] Ia mencari kebenaran sejati itu dalam beberapa aliran filsafat, seperti: filsafat Pythagoras, Filsafat Aristoteles, Plato, Stoa dan Neo-Platonisme. Namun kebenaran sejati yang dirindukannya tidak diperoleh juga, ia kemudian bertemu dengan seorang tua (menurut Wellem orang tua ini adalah seorang yang bertapa di padang gurun yang sunyi di Palestina. Sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa dalam pencarian kebenaran yang sejati itu, Justinus bertemu dengan seorang tokoh misterius, yaitu seorang kakek (orangtua) dekat laut/di pantai. Orangtua itu memperkenalkan kepada Justinus tentang Kitab Suci (para nabi dalam Perjanjian Lama) dan Yesus Kristus. Dalam percakapan (dialog) itu Justinus disadarkan bahwa tidak mungkin manusia memuaskan hasratnya akan hal ilahi hanya dengan kekuatannya sendiri. Kemudian kakek itu menunjukkan  kepadanya bahwa nabi – nabi zaman dahulu adalah orang – orang yang harus didatangi untuk menemukan jalan kebenaran kepada Allah serta “filsafat yang sejati”. Ketika akan pergi kakek itu menganjurkannya supaya berdoa, agar gerbang – gerbang cahaya dibukakan baginya. Akibat dialog ini Yustinus mulai sadar dan menerima kebenaran sejati dalam agama Kristen (mungkin tepatnya kepercayaan kepada Kristus). Yustinus sangat terkesan oleh sikap orang Kristen yang tidak takut menghadapi mati syahid. Lalu Justinus bertobat dan menjadi Kristen, karena melihat bahwa “hanya filsafat inilah satu-satunya yang aman dan menguntungkan.  Justinus mengakhiri cerita pertobatannya dengan kata-kata: “demikianlah dan untuk alasan inilah aku menjadi filsuf.
Dalam pelaksanaan apologetic, Yustinus mencari pendekatan antara agama Kristen dan filsafat Yunani. Yustinus adalah orang Yunani yang tiba pada kesimpulan bahwa Agama Kristen adalah pemenuhan segala yang terbaik dalam filsafat, khususnya dalam ajaran Platonisme. Menurut Yustinus, Kristus bukan sebagai yang diluar filsafat Yunani, akan tetapi sebagai kegenapan dari segala yang terbaik dari pemikiran Yunani. Ia menggambarkan konsep Logos atau Firman, yaitu bahwa dalam Logos atau Firman itu semua orang ikut berpartisipasidi dalam semua orang. Yustinus berpendapat bahwa Plato dan filsuf-filsuf lain meminjam beberapa di antara ide mereka dari Perjanjian Lama. Ide yang dimaksud yakni:
Kami diajarkan bahwa Kristus adalah Anak Sulung dari Allah dan kami telah mengatakan … bahwa Ia adalah Firman (atau akal) yang semua orang mengambil bagian di dalamnya. Mereka yang hidup secara akali (logos/Firman) adalah orang Kristen, walaupun mereka disebut ateis. (apologia Yustinus)
Yustinus memakai istilah “firman yang berbuah” dengan menyatakan: … segala yang telah dikatakan dengan benar oleh siapa pun adalah milik kami orang Kristen. Karena disamping Allah, kami memuja dan mengasihi firman, yang adalah dari Allah, yang tidak diciptakan dan yang kebenaran-Nya tak terhingga… (Apologi Yustinus).[3]
Dalam apologetikanya, Yustinus senang mempergunakan terminology filsafat untuk menjelaskan ajaran Kristen kepada lawan-lawannya. Justinus bertolak dari pernyataan Allah lewat nabi-nabi dalam Perjanjian Lama yang kemudian dipenuhi oleh inkarnasi Yesus Kristus. Yustinus mengajarkan bahwa “filsafat haruslah melayani iman Kristen”.

Apologetika terhadap orang luar
Yustinus memakai pendekatan Logos yang dikenal filsuf Yunani untuk menjelaskan atau berapologetika tentang logos Allah. Menurut Yustinus, ada dua logos Allah, yaitu: (1) Logos dalam Allah, dan (2) Logos yang keluar dari  Allah. Yustinus menggambarkan proses kelahiran Logos sebagai kelahiran tanpa pemisahan dan pengurangan terhadap hakikat Allah. Logos adalah Putra Allah yang tunggal. Logos dilahirkan sebelum penciptaan dan keluar dari kehendak bebas Allah. Logos itu sudah ada diantara manusia sebagai benih-benih kebenaran (logos spermatikos). Itulah sebabnya orang kafir membedakan yang benar dan yang jahat. Orang kafir juga berada di bawah pengaruh Kristus sebelum Kristus berinkarnasi. Yustinus berpendapat bahwa Socrates, Plato, Zeno, dan beberapa penyair Yunani serta sejarawan Yunani adalah murid-murid Logos. Mereka tidak menyadari bahwa mereka adalah murid Logos. Mereka adalah orang-orang Kristen sebelum Kristus (Wellem, 2003:194-195). Dengan kata lain, Logos, berarti Sabda kekal, Akal budi kekal, Akal budi pencipta. Oleh karena itu Yustinus berkesimpulan, karena Kristianitas adalah pernyataan pribadi dari Logos secara keseluruhan dalam sejarah, maka dapat disimpulkan bahwa “segala sesuatu yang benar yang pernah dikatakan oleh siapapun juga adalah milik kita, orang – orang Kristiani”
Yustinus mengatakan bahwa Perjanjian Lama dan filsafat Yunani adalah dua jalan yang mengantar kepada kristus, sang Logos. Itulah sebabnya filsafat Yunani tidak dapat dipertentangkan dengan kebenaran injil, dan orang – orang kristiani dapat menimbang daripadanya dengan kepercayaan seperti dari milik mereka sendiri. Meskipun filsafat Yunani tetap amat dihargainya, juga setelah ia bertobat, Yustinus benar – benar menegaskan bahwa dalam Kekristenan telah ditemukan ‘satu-satunya filsafat yang pasti dan menguntungkan ‘.”Secara keseluruhan, tokoh dan karya Yustinus menandai pilihan tegas Gereja awali untuk filsafat, untuk akal budi, bukan sebagai agama seperti yang dianut orang – orang kafir. Secara khusus Yustinus mengkritik dengan tak kenal ampun agama kafir serta mitos – mitosnya, yang dia pandang sebagai kesesatan dari jalan kebenaran. sebaliknya filsafat merupakan bidang yang menguntungkan dimana kekafiran, Yudaisme dan Kekristenan dapat bertemu, khusunya dalam hal mengkritik agama kafir serta mitos-mitosnya yang palsu.Yustinus juga para apologet lainnya yang bersama dia menegaskan dengan teguh pendirian yang ditentukan iman Kristiani untuk berpihak pada Allah para filsuf, melawan allah-allah palsu agama kafir. Itu berarti memilih kebenaran melawan mitos-mitos tradisional. Apologetika dapat didefinisikan sebagai pembelaan akan iman Kristiani.

d.      Pengertian Apologetika dalam terminology Ilmu Mandiri
Saat ini kata apologi menjadi umum dipakai merujuk kepada pembelaan iman. Apologi dapat berupa tulisan, khotbah, atau bahkan film. Para apologis mengembangkan pembelaan mereka untuk menghadapi masalah-masalah ilmu pengetahuan, filosofi, etik, agama, dan budaya.
Dalam usaha mengerti tentang apologetika maka perlu dipahami pengertian apologetika yang berdiri sebagai salah satu disiplin ilmu mandiri dalam rumpun Teologi yang dimulai tahun 1974. Dalam hal ini, sejak tahun 1974 apologetika mulai digunakan sebagai salah satu disiplin teologi yang khusus. Sejak tahun 1974 sampai kini tentu ada sejumlah definisi secara keilmuan tentang Apologetika Kristen. Definisi demikian tentu berbeda dari satu ahli ke ahli lainnya. Dalam hal ini kita menemukan definisi secara konseptual (menurut para ahli) tentang apologetika. Mari kita mengamati pengertian secara konseptual dari Apologetika.
Pertama, apologetika atau apologetics adalah pembelaan keyakinan Kristiani mengenai Allah, Kristus, Gereja dan tujuan hidup umat manusia. Pembelaan ini dapat ditunjukan kepada pemeluk agama lain, anggota komunitas Kristiani yang lain, warga komunitas sendiri yang ragu-ragu atau kepada orang beriman biasa yang ingin mengerti bahwa iman mereka dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua definisi para ahli:
Pertama, menurut John M. Frame, apologetika adalah ilmu yang mengajar orang kristen bagaimana memberi pertanggungan jawab tentang pengharapannya.
Kedua, Frame, Richard L. Pratt Jr., mendefinisikan apologetika sebagai studi yang mempelajari secara langsung bagaimana mengembangkan dan menggunakan pembelaan itu.
Ketiga, R. C. Sproul, mengartikan apologetika kristen sebagai usaha untuk menjelaskan kepada orang lain tentang apa yang diyakini atau dipercayaui dan mengapa ia mempercayainya.
Keempat, Cornelius Van Til, menyatakan: apologetika Kristen adalah usaha untuk mempertahankan filsafat Kristen dalam menghadapi berbagai bentuk filsafat non-Kristen. Oleh karena itu, apologetika melibatkan argumentasi penalaran intelektual yang berkenaan dengan wawasan dunia Kristen.
Rahmiati Tanudjaja dalam artikelnya menyatakan: apologetika Kristen merupakan pembelaan yang lebih menekankan pada kemampuan berpikir filsafati atau filsafat Kristen, sebagaimana yang dikemukakan.
Kelima, John M. Frame dan Edgar C. Powell membagi apologetika ke dalam tiga bagian, yaitu pembuktian atau penunjukkan, dalam arti memaparkan dasar rasional bagi iman Kristen (IKor. 15:1-11); pertahanan atau pembelaan, artinya menjawab sanggahan-sanggahan orang tidak percaya terhadap iman Kristen (Flp. 1:7, 16); dan penyingkapan, yaitu menyingkapan kesalahan atau kesalah-pahaman dari pemikiran atau pemahaman orang tidak percaya terhadap kekristenan (Mzm. 14:1, IKor. 1:18-2:16). Frame mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya, ketiganya tidak berdiri sendiri. Kita tidak dapat melakukan yang satu tanpa melakukan yang lainnya. Selanjutnya, Jhon M. Frame menjelaskan apologetika sebagai Pembuktian dengan menyatakan: Apologetika sebagai pembuktian menjelaskan tentang upaya dan metode untuk menyampaikan satu dasar yang rasional bagi iman Kristen, dan upaya untuk membuktikan kebenaran kekristenan. John M. Frame menyebut aspek apologetika ini sebagai apologetika defensif. Yesus dan para Rasul sering memberikan bukti kepada mereka yang mempunyai kesulitan untuk mempercayai kebenaran Injil (Yoh. 14:11; 20; 24:31). 18) Apologetika itu dimaksudkan untuk menghahdapi ketidakpercayaan yang ada di dalam diri orang percaya.  Apologetika digunakan untuk menjelaskan eksistensi Allah dan kebenaran Injil, dan menyingkapkan kebenaran doktrin Alkitab dalam berbagai argumentasi. Kemudian, apologetika sebagi pembelaan adalah sebuah upaya untuk menjawab keberatan-keberatan dari ketidakpercayaan. Misalnya sejumlah tulisan Paulus yang menekankan apologetika sebagai suatu pembelaan. Apologetika semacam ini menekankan perihal apa yang dikatakan Alkitab tentang berbagai peristiwa dalam perspektif Alkitab.
Apologetika juga dapat dipahami sebagai penyerangan yaitu apologetika sebagai penyerangan digunakan untuk menyerang kebodohan dari (akibat dari) pikiran yang tidak percaya. (Maz. 14: 1 ; 1 Kor. 1:18 -2:16). 22) John M. Frame menyebut aspek apologetika ini sebagai apologetika Ofensif. Apologetika ofensif itu tidak hanya digunakan hanya sebagai pemberian jawab saja, tetapi juga bermakna satu serangan terhadap kepalsuan yang menyesatkan (2 Kor. 10:15). Hal ini penting, sebab sebuah kebodohan memang hams diserang, tetapi sebuah penyerangan yang arif dan bijak melalui sebuah argumentasi yang medidik. Pemikiran non Kristen adalah sebuah kebodohan, jadi tugas seorang apologis adalah untuk menyingkapkan kebodohan tersebut, seperti penyembahan berhala, ateisme. relativisme, humanisme, dan isme-isme yang lain. Jadi, apologetika menjelaskan tentang pembelaan atau memberi jawab terhadap satu doktrin, baik kritikan yang muncul dari dalam atau pun dari luar kekristenan.
Dalam dimensi disiplin ilmu teologi, apologetika diartikan sebagai salah satu cabang dari ilmu theologia yang mempelajari pembelaan dan pembuktian kebenaran Kristen dengan tujuan mendewaskan umat dan memberitakan Injil. Apologetika àdalah Ilmu yang mengajar orang Kristen bagaimana memberi pertanggung jawaban tentang iman dan pengharapan yang diyakini. Apologetika adalah pembelaan berarti isi pidato atau perbuatan membela atau member jawaban atas isi kepercayaan. Apologetika adalah suatu pekerjaan membela atau mempertahankan diri dalam bentuk kata-kata dengan maksud menyatakan apa yang diyakini seseorang. Apologia juga dapat berarti : berbicara untuk mempertahankan atau memberikan jawaban .
Apologetika Kristen atau pembelaan Kristen adalah suatu usaha memberi pertanggunganjawab terkait iman Kristen kepada siapa saja yang mempertanyakannya. Apologetika adalah pembelaan atau memberi jawab terhadap lawan yang sedang menyerang atau mempertanyakan isi kepercayaan. Dalam konteks pemahaman ini apologetika Kristen atau pembelaan Kristen adalah suatu usaha memberi pertanggunganjawab terkait iman Kristen kepada siapa saja yang mempertanyakannya.
Menurut Lorens Bagus, apologetika adalah metode yang berusaha mempertahankan dan membenarkan kedudukan doctrinal melawan para pengecamnya. Dalam teologi, usaha membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman. Apologetika dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang mempertahankan dan membenarkan dogma dengan argument yang masuk akal. Apologetika rasional dalam bentuk, tetapi irasional dalam isi.[4]
Jadi filsafat Apologetika adalah berpikir secara radikal terhadap apologetika dan praktik apologetika Kristen untuk diterapkan dalam apologetika Kristen masa kini.









[1] Diadaptasi dari:https://id.wikipedia.org/wiki/Apologetik, 30/12 2015
[2] Dalam usahanya mencari kebenaran yang sejati dalam kelompok filsafat Platonisme yang terkenal. Yustinus mengalami kemajuan yang signifikan (kemajuan dari hari ke hari). Yustinus mengharapkan agar melalui kemajuan itu, ia langsung bertemu Allah. Dalam suasana kerinduan inilah Yustinus ketemua dengan seorang orangtua di Pantai Palestina (Bandingkan Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta : BPK, 2007), 7-8; dan F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja (Jakarta : BPK, 2003), 194
[3] Selanjutnya silakan baca Tony Lane, Runtu Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta : BPK, 2003), 8.

[4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta : Gramedia, 1996), 67