BAB 1
Kompetensi Dasar 1:
Mahasiswa mampu merumuskan pengertian
“Filsafat Apologetika”
1.
Pengertian Filsafat Apologetika
Apa itu “Filsafat
Apologetika”
Upaya menjawab
pertanyaan di atas, kita lakukan dengan cara menguraikan arti filsafat,
apologetika, dan filsafat apologetika. Kita mulai dengan pokok pertama, arti
filsafat.
1.1.
Pengertian Filsafat
Sudah menjadi
tradisi akademis setiap pergantian semester selalu ada tugas mengajar yang
diberi oleh sekolah melalui bidang akademik kepada setiap dosen untuk
mempersiapkan diri dalam hal mengajar di semester baru. Salah satu mata kuliah
yang dipercayakan kepada saya untuk disampaikan dalam semester Januari – Mei
2016 yakni mata kuliah “Apologetika”. Ketika menerima Jadwal didalamnya tertulis
mata kuliah “Filsafat Apologetika”. Sebelumnya saya sudah mempersiapkan materi
“Apologetika” tetapi persipan tersebut harus mengalami perubahan sesuai dengan
nama mata kuliah yaitu: “Filsafat Apologetika”. Paradigmanya penyajian materi
kuliah tentu berbeda, materi “Apologetika”
tentu berbeda makna dengan materi “Filsafat Apologetika”. Saya berharap
mahasiswa telah siap dalam berpikir “filsafat”. Kesiapan ini penting karena
kita akan mengkaji “Apologetika” (Apaologetika Kristen) dalam pendekatan atau
cara kerja filsafat.
Itulah sebabnya
dalam studi “Filsafat Apologetika”, saya mengajukan pertanyaan pertama: Apa itu
“Filsafat Apologetika”? Menjawab pertanyaan ini, perlu kita lakukan dua hal
pokok, yaitu berusaha mencari arti filsafat
dan apologetika, kemudian kita
meneruskannya dengan merumuskan pengertian filsafat
apologetika, serta pokok-pokok selanjutnya yang sesuai dengan kompetensi
yang hendak diwujudkan oleh para mahasiswa yang mengikuti mata kuliah “Filsafat
Apologetika”.
Kini kita memulai
usaha memberi jawaban atas pertanyaan: Apa itu “Filsafat Apologetika” dengan
usaha mencari makna kata filsafat, apologetika dan filsafat Apologetika.
Kita mulai dengan arti
filsafat.
Berdasarkan
pengalaman ketika menjadi mahasiswa yaitu ada sejumlah kesulitan memahami apa
pengertian filsafat yang secara teknis operasional mendarat dan menjiwai
seseorang dalam belajar filsafat dan menerapkannya. Saya kemudian mendapat
salah satu jawaban, yaitu usaha mengerti filsafat secara baik, terukur dan
mengyemangati roh filsafat dalam diri pelaku studi filsafat yaitu dengan
memahami percakapan Sokrates dan murid-muridnya.
Robert R. Boehlke
dalam bukunya berjudul “Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan
Agama Kristen dari Plato sampai Ig. Loyola (2013:2-3) mengutip Muchtar Jahya
tentang contoh gaya mengajar Sokrates yang dibuat oleh Guru besar John Adams dari Universitas Oxford dengan isi
tanya jawab sebagai berikut.
Sokrates:
“Apakah yang dimaksud dengan serangga (insect) itu?
Murid:
“Serangga ialah binatang kecil bersayap.” (Murid yakin bahwa jawabannya itu
benar)
Sokrates:
Kalau begitu, tentu ayampun boleh kita namai serangga.”
Murid:
Ayam bukan demikian kecilnya hingga dapat dinamai serangga. Ayam itu amat besar
kalau dibandingkan dengan serangga.”
Sokrates:
“Jadinya: Serangga ialah binatang yang amat kecil, mempunyai sayap.”
Murid:
“Betul!”
Sokrates: “Kalau
demikian, burung pipit dapat dinamai serangga, sebab dia demikian kecilnya”.
Murid:
“Tidak! Burung sekali-kali tidak dapat dinamai serangga, sebab dia demikian
kecilnya.”
Sokrates: Jadinya: Serangga ialah binatang yang amat
kecil, dia bersayap, tetapi bukan dari jenis burung.”
Murid: “Benar”
Sokrates:
“Kemarin saya memasuki salah satu took, di dalamnya saya melihat kaleng-kaleng
kecil. Pada masing-masing kaleng itu tertulis: Tepung keating yang paling
manjur untuk memberantas serangga.” Pada masing-masing kaleng itu tergambar
beberapa macam binatang kecil bukan dari jenis burung, tetapi tidak ada
mempunyai sayap, umpama pijat-pijat, kutu kucing dll. Rupa-rupanya mereka salah
menamakan binatang-binatang tersebut serangga, sebab masing-masing tidak
bersayap. Adakah masuk akal serangga tidak bersayap, menurut yang telah kita
tetapkan itu?”
Murid:
“Binatang-binatang tersebut memang serangga, semua orang tahu itu.”
Sokrates:
“Aneh, aneh. Apa pulakah arti serangga sekarang, menurut pikiranmu. Apakah
sekaran kau berpendapat bahwa “Serangga ialah binatang yang amat kecil,
mempunyai sayap, bukan dari jenis burung, dan kadang-kadang tidak bersayap.’
Sesungguhnya perkataan ini amat berlawan-lawanan.”
Murid:
“Celaka! Pertanyaan-pertanyaan orang ini membosankan. Coba tuan sendiri yang
menerangkan kepada kami, apa arti serangga itu, supaya kami puas dan tuanpun
puas.”
Sokrates:
“Bukankah dari tadi saya bilang padamu bahwa saya sendiri pun tidak mengetahui.
Sekarang mari kita
periksa bersama-sama, moga-moga kita sampai pada hakikat sebenarnya. Jalan yang
paling baik ialah kita ambil 3 atau 4 ekor serangga dari jenis yang
bermacam-macam, kemudian kita bandingkan satu dengan yang lain, untuk
mengetahui sifat-sifat yang sama. Apakah serangga yang akan kita ambil?”
Murid:
“Mari kita ambil kupu-kupu, semut, kerangga dan kumbang
Sokrates:
“Bagus”
Berdasarkan
jenis-jenis serangkan itu mereka merumuskan berdasarkan fakta tentang “apa itu
serangga?”
Serangga ialah
binatang beruas, kulitnya kesat, lagi keras, kakinya enam, mempunyai sayap,
atau bekas sayap.”
Berdasarkan
percakapan dialogis di atas, kita belajar apa artinya berpikir radikal/mendalam terhadap salah satu realitas (Salah
satnya: Serangga). Mudah-mudahan dialog diatas menolong kita memahami apa itu
filsafat dalam arti berpikir mendalam/radikal terhadap realitas dan merumuskan realitas
tersebut yang kemudian menghasilkan kebenaran.
Belajar filsafat
memang menyenangkan tetapi juga membingungkan. Hal yang terakhir ini disebabkan
karena terdapat ragam pengertian tentang filsafat. Saya tidak menjanjikan dan
menjamin bahwa materi ini memberi sumber pemahaman yang tuntas tentang apa itu
filsafat. Hal itu sulit diwujudkan. Namun perlu disadari bahwa keragaman
pengertian filsafat bukanlah sesuatu yang menyesatkan, hal itu wajar saja
karena setiap orang memberi arti sesuai dengan pemahamannya. Selanjutnya sesuai
dengan topik yakni "pengertian filsafat" maka dalam postingan ini
saya menjelaskan tentang pengertian filsafat. Pengertian yang saya paparkan ini
telah mendorong/mensemangati saya dalam mengajar Filsafat Ilmu dalam bidang
Pendidikan Kristen maupun Teologi Penggembalaan.
Menurut Jan Hendrik
Rapar, filsafat adalah mater scientiarum atau induk ilmu pengetahuan karena
memang filsafatlah yang telah melahirkan segala ilmu.
Menurut para
rohaniawan dan teolog menyatakan filsafat sebagai “ancilla theologiae”, yaitu
budak atau pelayan teologi. Sebagai pelayan teologi, filsafat memiliki tugas
memformulasikan argumentasi-argumentasi yang kuat untuk membela isi iman
Kristen. Ada pula rohaniawan dan teolog yang menuding filsafat sebagai alat
iblis terkutuk. Karena itu harus ditolak oleh semua orang beriman.
Tudingan ini tidak
sepenuhnya benar, Tuhan tidak menciptakan manusia sebagai robot, manusia
memiliki pikiran. Dengan pikiran itu manusia berfilsafat (berpikir). Namun
tidak kegiatan berpikir dikategorikan filsafat. Berpikir yang dikategorikan filsafat adalah berpikir yang berlangsung dalam
syarat-syarat tertentu (Rapar, 2000:12-13). Memang harus diakui bahwa berpikir
yang berciri filsafat dapat membawa seseorang pada dua pilihan, yaitu kesetiaan
kepada iman atau penyimpangan iman (alias tidak mengakui adanya Tuhan). Oleh
karena itu berfilsafat harus berlangsung dalam kawalan iman dan perlindungan
kasih.
Untuk memahami
filsafat, maka saya merumuskan pengertian filsafat dalam dua pendekatan.
Pertama, secara etimologi dan kedua secara konseptual (definisi para ahli
filsafat).
Secara etimologi,
filsafat berasal dari bahasa Yunani, dari kata “philosophia”. Kata
“philosophia” merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata: “philos” dan
“Sophia”. Kata “philos” berarti kekasih, atau bisa juga sahabat. Sedangkan
“Sophia” berarti kebijaksanaan atau kearifan atau juga pengetahuan.
Jadi, arti
harafiah “philosophia” berarti yang mencintai kebijaksanaan atau sahabat
pengetahuan.
Definisi para
ahli:
Plato dalam Jan
Hendrik Rapar menyatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih
kebenaran yang asli dan murni. Filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab
dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada atau filsafat
adalah usaha mencari kejelasan dan kecermatan secara gigih yang dilakukan
secara terus menerus (Louis O. Kattsoff, 1996:2)
Aristoteles (Murid
Plato) mengemukakan beberapa pengertian filsafat. Pertama, filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan
penyebab-penyebab dari realitas yang ada. Kedua, filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang berupaya mempelajari “peri ada selaku peri ada” (being as
being) atau peri ada sebagaimana adanya (being as such).
Rene Descartes
(Filsuf Prancis)
Argumen yang
terkenal dari Descartes yakni: “Aku berpikir maka aku ada” (cogito ergo sum).
Jadi, filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal
penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia.
William James
(Filsuf Amerika), Filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk
berpikir yang jelas dan terang.
R.F. Beerling
(mantan guru besar filsafat UI) menyatakan filsafat adalah suatu usaha untuk
mencari radix atau akar pengetahuan tentang diri sendiri.
Louis Kattsoff,
filsafat membawa kita kepada pemahaman, dan pemahaman membawa kita kepada
tindakan yang lebih layak. Kegiatan kefilsafatan ialah pemikiran secara
sistematis. Filsafat senantiasa bersifat menyeluruh/komprehensif (Louis O.
Kattsoff, 1996:3-4, 6, 12)
Berpikir radikal (berpikir mendalam)
tidak berarti mengubah, membuang, atau menjungkirbalikan segala sesuatu,
melainkan dalam arti sebenarnya, yaitu berpikir secara mendalam untuk mencapai
akar persoalan yang dipermasalahkan. Berpikir radikal sebenarnya hendak
memperjelas realitas, lewat penerimaan serta pemahaman akan akar realitas itu
sendiri (Rapar, 2000:21)
Yonas Muanley,
filsafat adalah berpikir radikal atau berpikir mendalam terhadap realitas
(realitas/ada secara menyeluruh maupun salah satu realitas). Salah satu
realitas itu yakni “apologetika” (pembelaan) yang dilakukan orang Kristen. Selanjutnya
lihat: http://bahanajaronline.blogspot.co.id (Blog
Filsafat oleh: Yonas Muanley)
1.2.
Pengertian
Apologetika (Apologetika Kristen)
a. Secara
etimologi
Dalam
Wikipedia kita mendapat penjelasan tentang apologetika dari beberapa
pengertian. Salah satunya yakni dari sisi etimologi. Secara etimologi,
apaologetika merupakan kata Yunani Kuno resmi yang didalamnya terdapat dua
kunci istilah yang bersifat teknis. Kedua istilah yang dimaksud yakni
penuntutan menghasilkan kategoria, dan tergugat membalas dengan sebuah
apologia. Membuat sebuah apologia berarti membuat sebuah khotbah yang resmi
atau memberi sebuah penjelasan untuk menjawab dan membantah tuntutan, seperti
dalam hal pertahan yang ditunjukkan oleh Socrates. Selain itu kita juga mendapat informasi dari
sumber-sumber lain yang menyatakan bahwa kata apologetika berasal dari Yunani à
Apologia = Pembelaan = Apologeoma. Apo = dari pada; logos : kata; bahasa.
Apologeomai = berbicara dari pada (diri sendiri) atau membela diri.
Jadi
apologetika berarti:
1)
Pembela tindakan
2)
Pembela kebenaran
3)
Kepercayaan atas kebenaran itu
b. Secara
Biblikal
Apa yang kita maksudkan dengan
pengertian apologetika secara biblical?. Artinya yakni mengartikan pengertian
apologetika berdasarkan konteks penggunaan kata “apologetika: dalam Perjanjian
Baru. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kata apologia dipakai dalam PB,
baik dalam bentuk kata benda ataupun kata kerja, penggunaan kata itu dapat
diterjemahkan sebagai “pembelaan” atau “pembenaran” di setiap kalinya. Filipi
1:7,16 mencatat panggilan untuk memberikan pembelaan iman yang rasional ;
terlebih lagi 1 Petrus 3:15, akan tetapi, memang tidak tercatat teori lengkap
mengenai apologetika dicatat di dalam Alkitab.
Untuk konkritnya,
kita lihat dalam beberapa ayat berikut:
Misalnya :
Kis 22
:1 “sebagai pembelaan diri” =
Apologia
Kis 25
:16 “membela diri” =
I Kor
9:3 “pembelaanku” =
II Kor 7
: 11 “pembelaan diri” =
Fil 1:7,
16 “membela”, “membela injil” =
II Tim 4
:16 “pembelaanku” =
I Pet 3
:15 “memberi pertanggungjawaban” = Yesus
itu Tuhan KURIOS, Raja diatas raja , Tuan diatas Tuan
Perlu
kita ketahui bahwa kata apologia dan apologeomai selalu digunakan dalam dunia
Yunani pra Kristen. Ketika Kristen berkembang dalam kebudyaan Hellenisme, kata
apologia dan apologeomai dipakai oleh orang-orang Kristen perdana (penulis
Injil) dan para rasul Yesus Kristus. Sehingga kedua kata itu dapat
diterjemahkan dengan kata Indonesia yaitu “pembelaan" atau
"pertanggungjawaban" dan "membela diri" atau
"mempertanggungjawabkan diri". Kegiatan ini dapat kita jumpai dalam
Perjanjian Baru. Misalnya arti apologia dalam Kisah Para Rasul 25:16 ialah kesempatan
yang diberikan kepada seorang pesakitan untuk membela dirinya terhadap dakwaan
dalam suatu perkara. Rasul Paulus berbicara di hadapan Agripa tentang
kesempatan yang diberikan kepadanya sebagai warga Negara Roma "untuk
membela diri (apologia) terhadap tuduhm itu." Dalam 2 Timotius 4:16 kita
menyaksikan bagaimana Paulus menggunakan kesempatan itu di Roma untuk pertama
kalinya mengajukan pembelaan dalam perkara pendakwaan atas dirinya.
Dalam
Kisah Para Rasul, kita juga menemukan arti apologia yakni pidato pembelaan. Kita
dapat memperhatikan pidato yang diucapkan Paulus di Yerusalem maupun pidatonya
di hadapan Festus dan Agripa serta pidato Stefanus di hadapan Dewan Agung.
Inilah apologia dalam Kisah Para Rasul (J. Verkuyl, 1966:7-8). Apologia juga dikemukakan
dalam Filipi 1:16 dan Filipi 1:7. Dalam kedua teks ini, apaologia lebih
mendekati arti teologisnya yakni apologia dalam arti membela kebenaran Injil
pada umumnya.
Penggunaan
kata apologi dalam Perjanjian Baru dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban
atas isi iman Kristen terhadap mereka yang menuntut pertanggungjawaban dari
kita. Sedangkan apologetika dapat diartikan sebagai pemikiran secara ilmiah
tentang pertanyaan yang diajukan kepada kita dan cara bagaimana memberi
peertanggungjawaban atas kepercayaan kita. Dalam hal ini, antara apologi dan
apologetika terdapat hubungan yang erat sekali. Kedua-duanya ialah mengenai
pertanggungjawaban atas isi iman itu. Bedanya hanya dalam tekanan dan sasaran.
Jadi,
menurut Alkitab, apologetika berarti: Memberi jawab I Kor 3 :15/ Yudas 3 5)
Pembelaan (diri pemberita). Menjelaskan berita = menyatakan kebenaran. Contoh :
Paulus konsisten dengan beritanya. 6) Menjernihkan (mengklirkan), memisahkan
yang salah (ajaran-ajaran yang tidak sama dengan Firman Allah).
c.
Apologetika Abad Ke-2: Apologetika Yustinus
Martir
Di abad ke-2, kata umum untuk
“pembelaan” ini mulai menyempit dan mengarah kepada sekelompok penulis yang
membela iman kepercayaan Kristiani terhadap serangan-serangan. Orang-orang ini
dikenal sebagai apologis, seturut dengan judul-judul tulisan mereka, tetapi,
baru pada tahun 1974 apologetika mulai digunakan sebagai salah satu disiplin
teologi yang khusus.
Salah satu apologetika abad kedua
dapat kita perhatikan dalam APologetika Yustinus Martir
Menurut
F.D. Wellem, Yustinus Martir adalah seorang apologet Kristen (Bapak Apologet
terpenting pada abad ke-2) yang terkemuka dalam gereja abad ke-2. Selain sebagai apologet, Yustinus juga
dikenal sebagai filsuf dan MartirYustinus adalah seorang pencari kebenaran yang
sejati. Yustinus memiliki kerinduan agar segera menemukan kebenaran yang sejati
(langsung bertemu dengan Allah). Ia
mencari kebenaran sejati itu dalam beberapa aliran filsafat, seperti: filsafat
Pythagoras, Filsafat Aristoteles, Plato, Stoa dan Neo-Platonisme. Namun kebenaran
sejati yang dirindukannya tidak diperoleh juga, ia kemudian bertemu dengan
seorang tua (menurut Wellem orang tua ini adalah seorang yang bertapa di padang
gurun yang sunyi di Palestina. Sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa dalam
pencarian kebenaran yang sejati itu, Justinus bertemu dengan seorang tokoh
misterius, yaitu seorang kakek (orangtua) dekat laut/di pantai. Orangtua itu
memperkenalkan kepada Justinus tentang Kitab Suci (para nabi dalam Perjanjian
Lama) dan Yesus Kristus. Dalam percakapan (dialog) itu Justinus disadarkan
bahwa tidak mungkin manusia memuaskan hasratnya akan hal ilahi hanya dengan
kekuatannya sendiri. Kemudian kakek itu menunjukkan kepadanya bahwa nabi – nabi zaman dahulu
adalah orang – orang yang harus didatangi untuk menemukan jalan kebenaran
kepada Allah serta “filsafat yang sejati”. Ketika akan pergi kakek itu
menganjurkannya supaya berdoa, agar gerbang – gerbang cahaya dibukakan baginya.
Akibat dialog ini Yustinus mulai sadar dan menerima kebenaran sejati dalam
agama Kristen (mungkin tepatnya kepercayaan kepada Kristus). Yustinus sangat
terkesan oleh sikap orang Kristen yang tidak takut menghadapi mati syahid. Lalu
Justinus bertobat dan menjadi Kristen, karena melihat bahwa “hanya filsafat
inilah satu-satunya yang aman dan menguntungkan. Justinus mengakhiri cerita pertobatannya
dengan kata-kata: “demikianlah dan untuk alasan inilah aku menjadi filsuf.
Dalam
pelaksanaan apologetic, Yustinus mencari pendekatan antara agama Kristen dan
filsafat Yunani. Yustinus adalah orang Yunani yang tiba pada kesimpulan bahwa
Agama Kristen adalah pemenuhan segala yang terbaik dalam filsafat, khususnya
dalam ajaran Platonisme. Menurut Yustinus, Kristus bukan sebagai yang diluar
filsafat Yunani, akan tetapi sebagai kegenapan dari segala yang terbaik dari
pemikiran Yunani. Ia menggambarkan konsep Logos atau Firman, yaitu bahwa dalam
Logos atau Firman itu semua orang ikut berpartisipasidi dalam semua orang.
Yustinus berpendapat bahwa Plato dan filsuf-filsuf lain meminjam beberapa di
antara ide mereka dari Perjanjian Lama. Ide yang dimaksud yakni:
Kami
diajarkan bahwa Kristus adalah Anak Sulung dari Allah dan kami telah mengatakan
… bahwa Ia adalah Firman (atau akal) yang semua orang mengambil bagian di
dalamnya. Mereka yang hidup secara akali (logos/Firman) adalah orang Kristen,
walaupun mereka disebut ateis. (apologia Yustinus)
Yustinus
memakai istilah “firman yang berbuah” dengan menyatakan: … segala yang telah
dikatakan dengan benar oleh siapa pun adalah milik kami orang Kristen. Karena
disamping Allah, kami memuja dan mengasihi firman, yang adalah dari Allah, yang
tidak diciptakan dan yang kebenaran-Nya tak terhingga… (Apologi Yustinus).
Dalam
apologetikanya, Yustinus senang mempergunakan terminology filsafat untuk
menjelaskan ajaran Kristen kepada lawan-lawannya. Justinus bertolak dari
pernyataan Allah lewat nabi-nabi dalam Perjanjian Lama yang kemudian dipenuhi
oleh inkarnasi Yesus Kristus. Yustinus mengajarkan bahwa “filsafat haruslah melayani iman Kristen”.
Apologetika
terhadap orang luar
Yustinus
memakai pendekatan Logos yang dikenal filsuf Yunani untuk menjelaskan atau
berapologetika tentang logos Allah. Menurut Yustinus, ada dua logos Allah,
yaitu: (1) Logos dalam Allah, dan (2) Logos yang keluar dari Allah. Yustinus menggambarkan proses
kelahiran Logos sebagai kelahiran tanpa pemisahan dan pengurangan terhadap
hakikat Allah. Logos adalah Putra Allah yang tunggal. Logos dilahirkan sebelum
penciptaan dan keluar dari kehendak bebas Allah. Logos itu sudah ada diantara
manusia sebagai benih-benih kebenaran (logos spermatikos). Itulah sebabnya
orang kafir membedakan yang benar dan yang jahat. Orang kafir juga berada di
bawah pengaruh Kristus sebelum Kristus berinkarnasi. Yustinus berpendapat bahwa
Socrates, Plato, Zeno, dan beberapa penyair Yunani serta sejarawan Yunani
adalah murid-murid Logos. Mereka tidak menyadari bahwa mereka adalah murid
Logos. Mereka adalah orang-orang Kristen sebelum Kristus (Wellem,
2003:194-195). Dengan kata lain, Logos, berarti Sabda kekal, Akal budi kekal,
Akal budi pencipta. Oleh karena itu Yustinus berkesimpulan, karena Kristianitas
adalah pernyataan pribadi dari Logos secara keseluruhan dalam sejarah, maka
dapat disimpulkan bahwa “segala sesuatu yang benar yang pernah dikatakan oleh
siapapun juga adalah milik kita, orang – orang Kristiani”
Yustinus
mengatakan bahwa Perjanjian Lama dan filsafat Yunani adalah dua jalan yang
mengantar kepada kristus, sang Logos. Itulah sebabnya filsafat Yunani tidak
dapat dipertentangkan dengan kebenaran injil, dan orang – orang kristiani dapat
menimbang daripadanya dengan kepercayaan seperti dari milik mereka sendiri.
Meskipun filsafat Yunani tetap amat dihargainya, juga setelah ia bertobat,
Yustinus benar – benar menegaskan bahwa dalam Kekristenan telah ditemukan
‘satu-satunya filsafat yang pasti dan menguntungkan ‘.”Secara keseluruhan,
tokoh dan karya Yustinus menandai pilihan tegas Gereja awali untuk filsafat,
untuk akal budi, bukan sebagai agama seperti yang dianut orang – orang kafir.
Secara khusus Yustinus mengkritik dengan tak kenal ampun agama kafir serta
mitos – mitosnya, yang dia pandang sebagai kesesatan dari jalan kebenaran.
sebaliknya filsafat merupakan bidang yang menguntungkan dimana kekafiran,
Yudaisme dan Kekristenan dapat bertemu, khusunya dalam hal mengkritik agama
kafir serta mitos-mitosnya yang palsu.Yustinus juga para apologet lainnya yang
bersama dia menegaskan dengan teguh pendirian yang ditentukan iman Kristiani
untuk berpihak pada Allah para filsuf, melawan allah-allah palsu agama kafir.
Itu berarti memilih kebenaran melawan mitos-mitos tradisional. Apologetika dapat
didefinisikan sebagai pembelaan akan iman Kristiani.
d. Pengertian
Apologetika dalam terminology Ilmu Mandiri
Saat ini kata apologi menjadi umum
dipakai merujuk kepada pembelaan iman. Apologi dapat berupa tulisan, khotbah,
atau bahkan film. Para apologis mengembangkan pembelaan mereka untuk menghadapi
masalah-masalah ilmu pengetahuan, filosofi, etik, agama, dan budaya.
Dalam usaha mengerti tentang
apologetika maka perlu dipahami pengertian apologetika yang berdiri sebagai
salah satu disiplin ilmu mandiri dalam rumpun Teologi yang dimulai tahun 1974.
Dalam hal ini, sejak tahun 1974 apologetika mulai digunakan sebagai salah satu
disiplin teologi yang khusus. Sejak tahun 1974 sampai kini tentu ada sejumlah
definisi secara keilmuan tentang Apologetika Kristen. Definisi demikian tentu
berbeda dari satu ahli ke ahli lainnya. Dalam hal ini kita menemukan definisi
secara konseptual (menurut para ahli) tentang apologetika. Mari kita mengamati
pengertian secara konseptual dari Apologetika.
Pertama,
apologetika atau apologetics adalah pembelaan keyakinan Kristiani mengenai
Allah, Kristus, Gereja dan tujuan hidup umat manusia. Pembelaan ini dapat
ditunjukan kepada pemeluk agama lain, anggota komunitas Kristiani yang lain,
warga komunitas sendiri yang ragu-ragu atau kepada orang beriman biasa yang
ingin mengerti bahwa iman mereka dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua definisi para ahli:
Pertama,
menurut John M. Frame, apologetika adalah ilmu yang mengajar orang kristen
bagaimana memberi pertanggungan jawab tentang pengharapannya.
Kedua,
Frame, Richard L. Pratt Jr., mendefinisikan apologetika sebagai studi yang
mempelajari secara langsung bagaimana mengembangkan dan menggunakan pembelaan
itu.
Ketiga,
R. C. Sproul, mengartikan apologetika kristen sebagai usaha untuk menjelaskan
kepada orang lain tentang apa yang diyakini atau dipercayaui dan mengapa ia
mempercayainya.
Keempat,
Cornelius Van Til, menyatakan: apologetika Kristen adalah usaha untuk
mempertahankan filsafat Kristen dalam menghadapi berbagai bentuk filsafat
non-Kristen. Oleh karena itu, apologetika melibatkan argumentasi penalaran
intelektual yang berkenaan dengan wawasan dunia Kristen.
Rahmiati
Tanudjaja dalam artikelnya menyatakan: apologetika Kristen merupakan pembelaan
yang lebih menekankan pada kemampuan berpikir filsafati atau filsafat Kristen,
sebagaimana yang dikemukakan.
Kelima,
John M. Frame dan Edgar C. Powell membagi apologetika ke dalam tiga bagian,
yaitu pembuktian atau penunjukkan, dalam arti memaparkan dasar rasional bagi
iman Kristen (IKor. 15:1-11); pertahanan
atau pembelaan, artinya menjawab sanggahan-sanggahan orang tidak percaya
terhadap iman Kristen (Flp. 1:7, 16); dan penyingkapan, yaitu menyingkapan
kesalahan atau kesalah-pahaman dari pemikiran atau pemahaman orang tidak
percaya terhadap kekristenan (Mzm. 14:1, IKor. 1:18-2:16). Frame mengatakan
bahwa dalam pelaksanaannya, ketiganya tidak berdiri sendiri. Kita tidak dapat
melakukan yang satu tanpa melakukan yang lainnya. Selanjutnya, Jhon M. Frame
menjelaskan apologetika sebagai Pembuktian dengan menyatakan: Apologetika
sebagai pembuktian menjelaskan tentang upaya dan metode untuk menyampaikan satu
dasar yang rasional bagi iman Kristen, dan upaya untuk membuktikan kebenaran
kekristenan. John M. Frame menyebut aspek apologetika ini sebagai apologetika
defensif. Yesus dan para Rasul sering memberikan bukti kepada mereka yang
mempunyai kesulitan untuk mempercayai kebenaran Injil (Yoh. 14:11; 20; 24:31).
18) Apologetika itu dimaksudkan untuk menghahdapi ketidakpercayaan yang ada di
dalam diri orang percaya. Apologetika
digunakan untuk menjelaskan eksistensi Allah dan kebenaran Injil, dan
menyingkapkan kebenaran doktrin Alkitab dalam berbagai argumentasi. Kemudian,
apologetika sebagi pembelaan adalah sebuah upaya untuk menjawab
keberatan-keberatan dari ketidakpercayaan. Misalnya sejumlah tulisan Paulus
yang menekankan apologetika sebagai suatu pembelaan. Apologetika semacam ini
menekankan perihal apa yang dikatakan Alkitab tentang berbagai peristiwa dalam
perspektif Alkitab.
Apologetika
juga dapat dipahami sebagai penyerangan yaitu apologetika sebagai penyerangan
digunakan untuk menyerang kebodohan dari (akibat dari) pikiran yang tidak
percaya. (Maz. 14: 1 ; 1 Kor. 1:18 -2:16). 22) John M. Frame menyebut aspek
apologetika ini sebagai apologetika Ofensif. Apologetika ofensif itu tidak
hanya digunakan hanya sebagai pemberian jawab saja, tetapi juga bermakna satu
serangan terhadap kepalsuan yang menyesatkan (2 Kor. 10:15). Hal ini penting, sebab
sebuah kebodohan memang hams diserang, tetapi sebuah penyerangan yang arif dan
bijak melalui sebuah argumentasi yang medidik. Pemikiran non Kristen adalah
sebuah kebodohan, jadi tugas seorang apologis adalah untuk menyingkapkan
kebodohan tersebut, seperti penyembahan berhala, ateisme. relativisme,
humanisme, dan isme-isme yang lain. Jadi, apologetika menjelaskan tentang
pembelaan atau memberi jawab terhadap satu doktrin, baik kritikan yang muncul
dari dalam atau pun dari luar kekristenan.
Dalam
dimensi disiplin ilmu teologi, apologetika diartikan sebagai salah satu cabang
dari ilmu theologia yang mempelajari pembelaan dan pembuktian kebenaran Kristen
dengan tujuan mendewaskan umat dan memberitakan Injil. Apologetika àdalah Ilmu
yang mengajar orang Kristen bagaimana memberi pertanggung jawaban tentang iman
dan pengharapan yang diyakini. Apologetika adalah pembelaan berarti isi pidato
atau perbuatan membela atau member jawaban atas isi kepercayaan. Apologetika
adalah suatu pekerjaan membela atau mempertahankan diri dalam bentuk kata-kata
dengan maksud menyatakan apa yang diyakini seseorang. Apologia juga dapat
berarti : berbicara untuk mempertahankan atau memberikan jawaban .
Apologetika
Kristen atau pembelaan Kristen adalah suatu usaha memberi pertanggunganjawab
terkait iman Kristen kepada siapa saja yang mempertanyakannya. Apologetika
adalah pembelaan atau memberi jawab terhadap lawan yang sedang menyerang atau
mempertanyakan isi kepercayaan. Dalam konteks pemahaman ini apologetika Kristen
atau pembelaan Kristen adalah suatu usaha memberi pertanggunganjawab terkait
iman Kristen kepada siapa saja yang mempertanyakannya.
Menurut
Lorens Bagus, apologetika adalah metode yang berusaha mempertahankan dan
membenarkan kedudukan doctrinal melawan para pengecamnya. Dalam teologi, usaha
membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman. Apologetika dapat
diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang mempertahankan dan membenarkan
dogma dengan argument yang masuk akal. Apologetika rasional dalam bentuk, tetapi
irasional dalam isi.
Jadi filsafat Apologetika adalah berpikir
secara radikal terhadap apologetika dan praktik apologetika Kristen untuk
diterapkan dalam apologetika Kristen masa kini.
Selanjutnya
silakan baca Tony Lane, Runtu Pijar
Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta : BPK, 2003), 8.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta : Gramedia, 1996), 67